Kata Bashirah sudah sering kali kita dengar. Terutama bila kita sering mendengarkan ceramah para ustadz baik melalui pengajian maupun melalui ceramah di TV dan saluran media yang lain.
Kata bashirah seringkali digunakan saat tema kajian adalah tentang dakwah. Walaupun tidak selalu begitu. Hal ini karena memang Allah menegaskan bahwa dakwah para Nabi ‘alahimus salam itu dilakukan berdasarkan bashirah.
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf: 108]
Lantas apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bashirah?
Pengertian Bashirah Dalam Islam Menurut Ulama
Bashirah memiliki pengertian secara bahasa dan istilah. Berikut penjelasan lengkapnya:
Bashirah Secara Bahasa
Secara bahasa, kata bashirah merujuk kepada makna seputar ilmu tentang sesuatu, pengetahuan yang jelas, hujjah atau argumentasi dan pandangan yang benar. Hal ini karena tidak setiap orang yang bisa melihat itu adalah orang yang memiliki bashirah.
Berapa banyak orang yang kehilangan pandangan matanya akan tetapi Allah Ta’ala memberi nikmat kepadanya berupa cahaya bashirah. Dia merlihat apa yang tidak dilihat oleh indera penglihatan. Orang yang buta bashirah itu lebih parah daripada buta mata.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Al-Hajj: 46]
Imam Al-Alusi rahimahullah berkata,
يقول الألوسي – رحمه الله تعالى -: (والمعنى: أنه لا يُعتَبر بعمى الأبصار، وإنما يُعتَبَر بعمى القلوب، فكأنَّ عمى الأبصار ليس بعمًى بالإضافة إلى عمى القلوب)
”Maknanya adalah buta pandangan itu tidak dijadikan pertimbangan. Namun yang dijadikan pertimbangan adalah butanya hati. Seolah-olah buta mata itu bukanlah kebutaan bila dikaitkan dengan kebutaan hati.”
Bashirah Secara Istilah
Adapun pengertian bashirah secara istilah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Bashirah adalah cahaya yang Allah lontarkan ke dalam hati. Dengan cahaya tersebut dia melihat hakikat ajaran yang dibawa para Rasul. Seolah dia menyaksikan dengan mata kepalanya. Dengan demikian dia bisa mendapatkan manfaat ajaran para rasul tersebut. Menyelisihi para Rasul tersebut akan merugikan dirinya.”[ Ruuhul Ma’ani 9/624][i]
Dr. Khalid bin Utsman As-Sabt memberikan definisi bashirah yang mudah untuk dipahami. Beliau mengatakan,
فالبصيرة: هي الأمر الكاشف الذي يعرف الإنسان به ربه – تبارك، وتعالى – معرفةً صحيحة، ويعرف به الطريق الموصل إليه، وهو ما شرعه على ألسُن رسلهِ – عليهم الصلاة، والسلام – وبه يعرف الدار التي يصير الناس إليها
“Bashirah adalah suatu perkara yang (memiliki kemampuan) menyingkap yang dengannya manusia mengenali Rabbnya Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan pengetahuan yang benar. Melalui perkara tersebut manusia mengetahui jalan yang akan menyampaikan kepada Allah.
Jalan tersebut adalah apa yang telah Allah syariatkan melalui lisan para rasul-Nya ‘alaihimush shalatu was salam. Dengannya manusia mengetahui tempat kembali mereka.”[ii]
Baca juga: Penjelasan Lengkap Rukun Iman
Kedudukan Bashirah Dalam Agama
Bashirah merupakan hal yang sangat penting bagi kebaikan agama seseorang.
Bila seseorang tidak memiliki bashirah meskipun memiliki penglihatan yang normal, dia tidak bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Terutama di saat fitnah merajalela, sehingga yang benar kelihatan salah dan yang salah justru nampak benar.
- Bashirah merupakan sarana untuk membedakan antara haq dan bathil.
Imam Ibnul Qayyim Al- Jauzi rahimahullah berkata,’Bashirah memancarkan ma’rifah dan menumbuhkan firasat. Artinya, bashirah memancarkan sumber-sumber ma’rifah dari hati. Dia tidak mengatakan “memancarkan ilmu” karena ma’rifah itu lebih khusus dari ilmu.
Hubungan bashirah dengan ilmu adalah sebagaimana hubungan antara ruh dengan jasad. Jadi bashirah itu ruh ilmu dan intinya.
Bashirah menumbuhkan di tanah hati, firasat yang benar, yaitu cahaya yang Allah lontarkan ke dalam hati yang bisa membedakan antara haq dan bathil, yang benar dan dusta. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. [Al-Hijr: 75]
Yang dimaksud dengan mutawassimiin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda) adalah al-mutafarrisiin yaitu orang-orang yang memiliki firasat.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda,
اتقوا فِراسةَ المؤمن؛ فإنه ينظُرُ بنورِ الله عز وجل، ثم قرَأ: إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
”Hati-hatilah terhadap firasat orang beriman. Sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. [Al-Hijr: 75]
[Hadits riwayat At-Tirmidzi di dalam Sunan At-Tirmidzi no. 3127. Hadits hasan lighairihi]
التوسُّم ‘At-tawassum’ adalah تفعُّل ‘tafa’ul’ dari السِّيمَا ‘as-siimaa’ yang bermakna : عَلامة yang berarti tanda. Maka al-mutafarris atau orang yang memiliki firasat itu disebut dengan mutawassim karena dia mengambil kesimpulan melalui apa yang dia saksikan pada apa yang tidak terlihat. Dan firasat itu tergantung dengan kuat dan lemahnya bashirah.’[Ruhul Ma’ani: 9/624][iii]
Firman Allah Ta’ala yang mengandung makna bashirah yang berfungsi sebagai sarana untuk membedakan antara haq dan bathil di antaranya:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [Asy-Syura: 52]
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. [Al-An’am: 122]
- Dakwah Nabi ﷺ dan para pengikutnya dilakukan di atas dasar bashirah.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf: 108]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah saat menerangkan ayat ini dalam tafsirnya Al-Quranul ‘Azhim berkata,” Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk memberitahukan tentang kepentingannya dalam dakwah dan agar mengatakan kepada mereka, “lnilah jalanku dan tata caraku, yaitu mengajak agar kalian bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Aku mengajak ke jalan Allah atas dasar hujah yang nyata, keyakinan, ilmu, dan petunjuk. Siapa yang mengikutiku, dia juga akan menyeru orang lain menuju apa yang diserukan oleh Rasulullah ﷺ atas dasar hujah yang nyata dan keyakinan.”[iv]
Baca juga: Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Macam-Macam Bashirah
Secara garis besar, bashirah itu ada dua macam:[v]
- Bashirah yang bersifat wahbiy
Bashirah yang diperoleh dengan taufik Allah kepada seorang hamba. Allah membuka hatinya untuk menerima kebenaran, menjadikan hati itu melihat kebenaran sehingga hamba tersebut menjadi istiqamah dan mendapat petunjuk. Hamba tersebut berada di atas jalan petunjuk dan jalan yang lurus.
- Bashirah yang bersifat kasbiy
Sedangkan jenis bashirah yang kedua adalah jenis bashirah yang diperoleh melalui proses mujahadah, bersabar dalam menuntut ilmu yang benar dari sumber yang semestinya, banyak mengkaji sumber-sumber hidayah.
Yaitu al-Quran dan penjelasannya dari sunnah Rasulullah ﷺ dan pemahaman, ilmu, istinbath, dan penelitian dalam hal dalil-dalil al-Quran dan sunnah dari para salafush shalih.
Baca juga: Kebetulan dalam Islam
Tingkatan / Derajat Bashirah
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi bashirah menjadi tiga tingkatan atau derajat sebagai berikut:[vi]
- Bashirah dalam hal terkait dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala
Yaitu seorang hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang benar tentang nama -nama dan sifat-sifat-Nya. Jika dia telah mengenal Rabbnya, maka dia akan takut kepada Allah, berharap kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dan mengagungkan-Nya dan tidak mengagungkan makhluk.
- Bashirah dalam hal perintah dan larangan.
Yaitu mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa jalla, mengetahui batasan-batasan-Nya. Inilah yang menjadikannya berpegang teguh dengan shirathal mustaqim dan takwa. Dengan hal ini sang hamba tersebut telah mewujudkan penghambaan kepada Allah Jalla Jalaluhu dan mensucikan nama-nama Allah.
Di dalam hatinya tidak ada sedikit pun penentangan terhadap perintah Allah dan Syariat-Nya, serta larangan-Nya. Demikian pula terhadap qadha’ dan qadar-Nya. Dengan demikian sang hamba berada dalam keadaan menerima terhadap perkara syar’i dan kauni.
Hal ini didasari oleh bashirah yang pertama. Seorang hamba itu bila mengetahui bahwa Rabbnya itu Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
Allah menempatkan segala urusan pada tempatnya, dan meletakkannya pada posisinya, dalam kondisi semacam ini dia akan merasa tenteram dengan ketentuan Syariat-Nya sehingga dia tidak akan menentang Allah sama sekali.
- Bashirah dalam janji dan ancaman
Yaitu seorang hamba berada dalam kondisi seolah-olah akhirat itu ada di hadapan matanya. Saat berdiri di hadapan Allah Ta’ala saat shalat, tergambar pada dirinya seolah dirinya sedang berdiri di atas Shirat (jembatan yang membentang di atas neraka), berdiri di hadapan surga dan neraka.
Seolah akhirat terbayang begitu rinci sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala. Seolah dia menyaksikan dan melihatnya secara langsung.
Oleh karenanya, dia akan beramal sesuai dengan tuntutan dari ilmunya dan bashirah yang telah berada dalam hatinya, sehingga jalan menjadi jelas baginya. Dia mengetahui apa yang sedang dia tuju. Maka dia beramal menghadapi hari tersebut dan bersiap-siap untuk berjumpa dengan Rabbnya.
Agar Mendapatkan Bashirah dari Allah
Bila bashirah adalah ruh dari sebuah ilmu dan bahkan intinya, serta menjadi sarana untuk mampu membedakan antara haq dan bathil dan menjadi pondasi dari dakwah Islamiyah, maka kita sebagai seorang muslim yang mengharapkan rahmat Allah harus berusaha untuk bisa memiliki bashirah yang tajam dan kuat. Tapi bagaimana cara mendapatkannya?
Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan bashirah dengan pertolongan dari Allah subhanahu wa Ta’ala tentunya, yaitu:[vii]
- Iman yang benar kepada Allah dan rasul-Nya.
Hal sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Hadid: 28]
- Ilmu yang bermanfaat tentang ajaran Rasulullah ﷺ.
Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Al-Jumu’ah: 2]
- Mengamalkan ilmu
Siapa yang mengamalkan ilmunya Allah akan memberinya rezeki berupa ilmu yang belum dia ketahui. Hakikat takwa adalah anda mentaati Allah berdasarkan cahaya dari Allah serta mengharap pahala Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah: 282]
Ketakwaan itu akan mengantarkan kepada cahaya bashirah. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al-Anfal: 29]
- Mengikuti sunnah secara lahir dan batin dengan benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al-Ahzab: 21]
- Terus menerus berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
Dzikir akan membuahkan kehidupan hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Lantas bagaimanakah keadaan ikan apabila berpisah dari air?”
Dzikir yang paling mulia adalah membaca Al-Quran, memahaminya dan mentadabburinya. Porsi cahaya bashirah anda sesuai dengan kadar interaksi anda dengan al-Quran.
- Banyak ibadah.
Salah satu sarana terbesar yang bisa digunakan oleh seorang hamba untuk meraih pertolongan Allah dan dukungan-Nya adalah bersungguh-sungguh dalam ibadah. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ ) رواه البخاري، رقم 6021، كتاب الرقاق.(
”Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ’Siapa memusuhi seorang wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya.
Dan Hamba-Ku terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’[Hadits riwayat Al-Bukhari no. 6021]
- Menjaga pandangan dari yang haram, menjaga kemaluan dan menjauhi campur baur laki-laki perempuan yang haram.
Memelihara pandangan dari yang haram akan menyelimuti hati dengan cahaya sebagaimana membebaskan pandangan mata akan menyelimuti hati dengan kegelapan.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut ayat tentang cahaya setelah perintah untuk menahan pandangan.
Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [An-Nuur: 35]
Cahaya hati akan membuahkan firasat yang benar kepada pemiliknya sehingga bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Ucapan Para Ulama Tentang Bashirah
Di antara ucapan para ulama yang perlu diketahui tentang bashirah adalah sebagai berikut:
- Di dalam kitab Miftah Daris-Sa’adah dinukil perkataan sebagian ulama salaf rahimahumullah:
إنما كانوا يعملون على البصائر، وما أُوتي أحدٌ أفضل من بصيرةٍ في دين الله، ولو قصر في العمل ) مفتاح دار السعادة ومنشور ولاية العلم والإرادة (1/303)(
”Dahulu mereka beramal berdasarkan bashirah dan tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih utama dari bashirah dalam agama Allah meskipun kurang dalam amal.” [Miftah Daaris Sa’adah: 1/303][viii]
- Syuja’ Al- Kirmani berkata,
مَن عمَّر ظاهره باتباع السٌّنة، وباطنه بدوام المراقبة، وغضَّ بصره عن المحارم، وكف نفسه عن الشبهات، واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة
“Siapa yang memperbaiki zhahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan terus menerus bermuraqabah (merasa diawasi oleh Allah), menghindarkan matanya dari hal-hal yang haram dipandang dan memelihara dirinya dari hal-hal yang syubuhat serta mengkonsumsi makanan halal, firasatnya tidak akan keliru.” [Faidhul Qadiir, Al-Munawi: 2/515]
Syuja’ Al-Kirmani dikenal sebagai orang yang firasatnya tidak pernah keliru.
Perkataan ini memang tidak menyebutkan kata bashirah sama sekali. Namun perlu diingat bahwa firasat yang tepat itu hanya bisa didapat seseorang bila dia memiliki bashirah yang tajam dan kuat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.
Contoh Bashiroh
Berikut sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah tentang kemampuan Ibnu Abbas yang istimewa dalam memahami makna-makna ayat al-Quran meski usianya masih relatif muda.
روى البخاري: عن ابن عباس -رضي الله عنهما- قال: كان عمر يُدخلني مع أشياخ بدر، فكأن بعضهم وَجَد في نفسه، فقال: لِمَ يدخل هذا معنا ولنا أبناء مثله؟ فقال عمر: إنه ممن قد علمتم، فدعاهم ذات يوم فأدخلني معهم، فما رأيتُ أنه دعاني فيهم يومئذ إلا ليُريهم، فقال: ما تقولون في قول الله سبحانه و تعالى: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ؟
فقال بعضهم: أمرنا أن نَحمد الله ونستغفره إذا نصرنا وفُتح علينا، وسكت بعضهم فلم يقل شيئًا، فقال لي: أكذلك تقول يا ابن عباس؟ فقلت: لا، فقال: ما تقول؟ فقلت: هو أجلُ رسول الله ﷺ أعلمه له، قال: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فذلك علامة أجلك، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا فقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه :لا أعلم منها إلا ما تقول،
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata,” Umar pernah memasukkanku bersama orang-orang tua yang ikut perang Badar. Sepertinya sebagian dari mereka mendapati adanya ganjalan dalam dirinya.
Lalu ada yang bertanya, “Mengapa anak muda ini masuk bersama kita, padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?” Umar menjawab, “Sungguh, kalian sudah mengetahui siapa dirinya,” Maka suatu hari Umar radhiyallahu anhu mengundang mereka dan memasukkanku bersama mereka.
Aku tidak melihat alasan Umar mengundangku bersama mereka pada saat itu kecuali beliau ingin menunjukkan kepada mereka. Umar berkata, “Apakah pendapat kalian tentang firman Allah:
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” [An-Nashr:1]
Sebagian dari mereka menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya saat kita telah diberi pertolongan dan suatu daerah sudah dibebaskan (ditaklukkan) bagi kita.”
Sebagian yang lain diam saja tidak mengatakan apa pun. Umar radhiyallahu anhu berkata kepadaku, “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas?” Aku menjawab, “Tidak!” Umar bertanya, “Apa pendapatmu?”
Aku menjawab, “Itu adalah ajal Rasulullah ﷺ. Allah memberitahukannya kepada beliau. Allah berfirman اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ . Itulah tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
Umar radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak mengetahui tentang ayat tersebut kecuali apa yang engkau sampaikan.” [Hadits riwayat al Bukhari Kitab tafsir al-Quran, no. 4970]
Tanggapan Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu terhadap jawaban Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan bahwa cara Ibnu ‘Abbas memahami nash-nash al-Quran sudah seperti Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Ibnu ‘Abbas mampu melihat isyarat yang tersembunyi dibalik nash ayat secara zhahir. Kemampuan ini jelas hanya ada pada orang yang berilmu mendalam dan memiliki bashirah yang tajam.
Ini hanyalah sebuah contoh dari sekian banyak contoh kuatnya bashirah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Tentunya masih ada contoh-contoh yang lain. Namun ini sudah cukup mewakili.
Semoga pembahasan tentang apa itu bashirah sesuai penjelasan para ulama ini bisa bermanfaat bagi setiap Muslim yang membacanya.
Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari rahmat Allah semata dan bila ada kesalahan dan kekeliruan maka itu dari kami dan dari setan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni segala kesalahan kami.
[i] https://www.alukah.net/sharia/0/66541/
[ii] https://khaledalsabt.com/lectures/
[iii] https://www.alukah.net/sharia/0/66541/
[iv] Mudah Tafsir Ibnu Katsir, Pentahqiq: Dr. Shalah bin Abdul Fattah Al-Khalidi, Jilid 4, Pustaka Maghfirah, Jakarta, Oktober 2017. Hal. 71.
[v] https://khaledalsabt.com/lectures/44/ %D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B5%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86
[vi]https://khaledalsabt.com/lectures/44/ %D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B5%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86
[viii] https://khaledalsabt.com/lectures/44/ %D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B5%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86
Incoming search terms:
- https://pusatjamdigital com/pengertian-bashirah/ (17)
- Ciri orang yang memiliki bashirah (3)
- Manzilah al-Bashirah (1)
- makna sarirah (1)
- ketrangan basiroh (1)
- الالوسي: والمعنى انه لا يعتبر بعمى الابصار (1)
- basyiroh artinya (1)
- basirah artinya (1)
- bashiroh artinya (1)
- Bashirah (1)
Tinggalkan Balasan