Al-Thau’n Awamis adalah salah satu wabah yang sangat mematikan di Era Khalifah Umar bin Khattab. Wabah model seperti sebenarnya sudah ada sejak dulu, hingga era pemerintahan Khalifah Umar. Sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW, Madinah pernah terkena wabah juga walapun tidak sedahsyat Al-Thoun di Syam.
Ketika awal-awal Hijrah, Madinah yang sebelumnya bernama Yasrib dalam sering terkena Wabah. Sebuah riwayat yang pernah diceritakan oleh seorang sahabat yang bernama Abu Buraidah ra, dia berkata “Aku mengunjungi Madinah saat banyak orang sakit yang membawa kepada kematian.” (HR Bukhori 2449).
Rasulullah SAW juga pernah berdoa kepada Allah SWT agar Madinah terhindar dari wabah (virus) yang mematikan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلَا الدَّجَّالُ)) رواه البخاري
Rasulullah SAW bersabda “Di setiap pintu masuk Madinah terdapat malaikat yang tidak dapat dimasuki Tha’un dan Dajjal.” (HR. Bukhori).
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa Makkah dan Madinah akan terjaga di wabah Al-Tha’un. Malaikat, selalu menjaga sudut-sudut dua tanah suci ini. Seolah-olah, Al-Thaun itu sebangsa makhluk halus yang tidak terlihat mata, tetapi sifatnya jahat. Rasulullah SAW menyebutkan dalam teks hadisnya “Tha’un dan Dajjal” tidak akan memasuki kota suci Makkah dan Madinah.
Salah satu ayat yang direkomendasikan Rasulullah SAW agar seseorang tidak akan diganggu oleh Dajjal adalah istiqomah membaca Surat Al-Kahfi.
Dengan kata lain, istiqomah membaca Surat Al-Kahfi menjadi salah satu upaya seseorang selamat dari gangguan Dajjal dan Thaun. Juga, banyak solawat dan Salam kepada Rasulullah SAW.
Ada yang mengatakan “Thaun dan Wabah” itu dua mahluk yang berbeda. Namun, sebagian besar berpendapat semua wabah yang menimbulkan penyakit yang mematikan dengan jumlah besar disebut dengan “Tha’un”. Terbukti, Makkah pernah mendapat serangan wabah yang mematikan, seperti colera yang menimbukkan kematikan yang cukup besar.
Dengan demikian, setiap wabah yang menimpa Madinah dan Makkah, bukanlah wabah Tha’un yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Terbukti, beberapa virus yang menimpa masyarakat Makkah dan Madinah akhirnya bisa sembuh dengan vaksin yang ditemukan oleh pakar-pakar kesehatan.
Terhadap kota suci Madinah, Rasulullah SAW sangat mencintainya, sehingga Thaun dan Dajjal tidak akan mampu mendekatinya karena Malaikat telah menjaganya.
Jika seseorang tidak bisa bermukim di Madinah, sudah seharusnya setiap umat Rasulullah SAW berusaha menjadikan rumahnya, atau kota tempat tinggalnya berkah dengan cara membaca banyak sholawat serta salam kepada Rasulullah SAW.
Rasululah SAW berdoa secara khusus untuk kota Madinah Al-Munawarah
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((اللهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، وَصَحِّحْهَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا، وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ (رواه البخاري
Rasulullah SAW berkata “Ya Allah, berilah kami kecintaan kepada kota Madinah sebagaimana Engkau memberikan kami kecintaan kepada kota Mekkah atau bahkan lebih dari Mekkah; dan pindahkanlah wabah penyakitnya ke daerah Juhfah. Ya Allah, berilah keberkahan untuk kami pada setiap mud kami dan sha’ kami (HR Bukhori)”.
Sosok Sayyidina Umar bin Khattab
Sejarah mencatat, tidak satupun bangsa Jin dan Setan, ketika melihat Umar bin Khattab, kecuali lari terbirit-birit. Cukup banyak pendapat Umar Ibn Al-Khattab, kemudian diapresiasi oleh Rasulullah SAW, sehingga turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW. Gagasan-gagasan cemerlang Umar seputar ibadah, tata negara, hingga memutuskan sosok yang tepat menjadi pemimpin perang. Juga, termasuk sosok yang mempromotori wakaf produktif.
Dalam kitab “Al-Isobah fi Tamyizi Al-Sahabat” sahabat Umar digambarkan sosok sangat mencintai istrinya. Bahkan Syekh Muhamamd Ali Al-Shobuni dalam kitab “Al-Zawazu Al-Mubakkir” beliau menerangkan seputar kisah Umar bin Khattab yang sedang mendapat amarah istrinya. Namun, Umar tidak pernah membalas dengan amarah istrinya. Bukan karena takut istri, namun karena Umar sangat mencintai dan memuliakan istrinya yang sangat lelah di dalam merawat rumah dan putra-putrinya. Umar juga sosok yang sangat memuliakan durriyah Rasulullah SAW.
Ijtihad Umar Saat Menghadapi Wabah Thaun
Umar bin Khattab pernah berdialog sengit seputar masalah ijtihad menghadapai Thaun dengan seinornya Abu Ubadillah Ibn Jarrah ra. Beliau bernama Amir bin Abdullah al-Jarrah yang mashur di panggil dengan Abu Ubaidah adalah lawan dialog Umar Ibn Al-Khattab ra seputar seputar sikap dan ijtihad menghadapi wabah Al-Thaun Awamis yang terjadi saat itu.
Sahabat Umar dan Abu Ubadillah Ibn Jarrah, sangat dicintai oleh baginda Rasulullah SAW, karena termasuk sepuluh orang yang pertama masuk islam, sekaligus sepuluh orang sahabat yang dijamin surga. Perjuanganya membela agama Allah SWT bersama Rasulullah SAW sejak berada di Makkah hingga di Madinah.
Rasulullah SAW juga pernah mengirimkan Ubadilah Ibn Jarrah ra ke Yaman Najran atas permintaan masyarakat Yaman agar mengajarkan urusan agama kepada mereka. Rasulullah SAW berkata kepada penduduk Najran Yaman “Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian ‘orang kuat yang terpercaya”.
Rasulullah SAW sangat tahu kemampuan sahabat Ubaidillah Ibn Jarrah ra, kemudian Rasulullah SAW berkata.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((إنَّ لكلِّ أمَّةٍ أميناً، وإنَّ أميننَا، أيَّتُها الأمَّةُ، أبو عبيدةَ بنُ الجرَّاحِ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW berkata “Setiap Umat memiliki kepercayaan, dan orang kepercayaan dari umat ini, ialah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhori).
Rasulullah SAW memberi gelar yang sangat luar biasa kepada sosok sahabat Abu Ubadillah Ibn Jarrah ra “Hadza Amiinu Hadzihil ‘ummah” yang artinya inilah orang yang terpercaya dari umat ini. Sahabat Umar-pun pernah mengungkapkan keinginan mendapat gelar sebagaimana gelar yang disematkan Rasulullah SAW kepada Abu Ubaidillah Ibn Jarrah ra.
Banyak sumber utama yang menerangkan betapa tinggi maqom sahabat Abu Ubadillah Ibn Jarrah di sisi Rasullah SAW, bukan hanya gelarnya, ternyata Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa dirinya sangat mencintai Abu Ubaidillah Ibn Jarrah. Ini sangat wajar, karena sejak awal Abu Ubaidillah tidak pernah absen berjuang bersama Rasulullah SAW menengakkan agama Allah SWT.
Cara Sahabat Menyikapi Wabah Thaun
Seorang yang bergelar “Pemimpin Umat yang Kuat” harus wafat sahid karena Wabah Al-Thaun Awamis yang menular, begitu juga dengan Muadz bin Jabal, dan bagi seorang muslim, ketika wabah menyerangnya hingga wafat, maka Rasulullah SAW menjamin dengan “mati sahid”, karena itu merupakan rahmat Allah SWT bagi kaum muslimin. Namun, jangan sampai melawan dan menentang wabah tersebut. Awamis salah satu tempat yang terletak di Palestina dekat dengan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa).
Ketika usia Abu Ubadillah Ibn Jarrah memasuki 58 tahun, beliau memasuki kawasan negeri Al-Syam, sebuah negeri yang diberikahi. Al-Syam meliputi “Palestina, Syiria, Yordania dan Libanon”. Saat itu negeri Al-Syam sedang diserang sebuah wabah yang sangat ganas (Al-Thaun Awamis).
Siapa-pun yang terserang, sudah pasti meregang nyawa
Saat terjadinya Wabah Thaun yang sedang menganas dan mematikan, Umar Ibn Al-Khattab ra bersama sahabat-sahabata Rasulullah SAW sedang melakukan lawatan ke negeri Al-Syam, beliau berjumpa dengan rombongan sahabat Rasulullah SAW yang dipimpin langsung oleh Abu Ubadillah Ibn Jarrah ra yang memiliki tujuan yang sama.
Tiba-tiba datang seseorang mengabarkan kepada kedua sahabat setia Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga. Bahwa, tempat yang akan dituju sedang terserang sebuah wabah yang mematikan. Setiap hari puluhan manusia meregang nyawa. Belum juga ditemukan obatnya.
Kemudian Umar bin Khattab berkata, bermusyawarah dengan sahabat-sahabat yang turut serta dalam rombongan itu.
Umar berkata kepada sahabat:
“Saya tidak akan meneruskan perjalanan ini karena akan tertular penyakit (Wabah Thaun yang mematikan”.
Walaupun ada yang mengusulkan agar rombongan yang dipimpin oleh Umar tetap melanjutkan perjalanan menuju negeri Al-Syam. Karena sudah terlanjur. Namun, Sahabat Umar tetap ber-Ijtihad kembali ke Madinah.
Umar Ibn Al-Khattab ra tetap mengajak para sahabat yang ikut serta beserta rombongan ikut serta bermusyawarah secara demokratis. Itulah salah satu ciri khas pemimpin, tidak otoriter dan diktator. Mau mendengar saran dan pendapat sahabat-sahabatnya.
Walaupun, tetap saja ada dua pendapat mengemuka. Sebagian meneruskan, sebagian lagi kembali ke Madinah, agar tidak banyak yang menjadi korban wabah tersebut. Walaupun, sahabat Ibn Abbas ra berpendapat, tetap saja tawakuf (mandeg) dialog tersebut.
Ketika dalam perdebatan yang sangat sengit antara para sahabat yang hadir pada saat itu, tiba-tiba sahabat terkaya Rasulullah SAW Abdurrahman bin Auf ra berkata “saya mendengar bahwa Rasulullah SAW berkata “Jika Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya” (HR Bukhari).
Setelah mendengar pendapat Abdurahman Ibn Auf ra, Umar Ibn Al-Khattab ra mengucapkan “Al-Hamdulillahi Rabbil Alamin”. Dengan mantab, Sahabat Umar memutuskan kembali ke Madinah bersama rombongan. Umar melihat kemaslahatan umat, yaitu menyelamatkan sahabat yang turut serta bersamanya. Sementara, jika terus melanjutkan, justru akan menimbulkan korban semakin banyak dari rombongannya.
Nah, disinilah perbedaan antara Umar Ibn Al-Khattab ra dengan Ubaidah bin al-Jarrah ra di dalam mengambil sebuah Ijtihad. Rupanya, Ubadillah Ibn Jarrah ra memutuskan tetap melanjutkan perjalanan di Negeri Al-Syam yang sedang terkena Wabah Al-Tha’un. Kemudian Ubaidillah ra berkata kepada Umar ra dengan nada yang kurang menyenangkan “Apakah kamu hendak lari dari takdir Allah, hai Umar?”
Umar Ibn Al-Khattab menjawab dengan singkat “Andai saja yang bertanya ini bukan dirimu, wahai Ubaidah.”
Umar terlihat sunkan (pekewoh), dan juga tidak nyaman dengan pertanyaan Ubadillah Ibn Jarrah. Maklumlah, Umar Ibn Al-Khattab ra tahu betul bahwa Ubaidillah Ibn Jarrah ra, sosok yang sangat dicintai Rasulullah SAW, kontribusinya sangat besar terhadap Islam, juga mendapat gelar “pemimpin umat yang jujur nan kuat”.
Kemudian Umar Ibn Al-Khattab ra menjawab dengan singkat “Iya, kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain”. Keduanya sosok yang sangat mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW, keduanya sosok yang dijamin surga, keduanya sangat setia berjuangan bersama Rasulullah SAW. Tentu saja, argumentasi kedua sahabat benar-benar merujuk pada junjunganya, yaitu Rasulullah SAW.
Kemudian Umar menambahkan argumentasinya:
“Bagaimana pendapatmu jika kau membawa seekor unta lalu sampai di sebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang. Mana yang kau pilih? Seandainya kau membawanya ke sisi yang subur, sesungguhnya itu takdir Allah. Tapi jika kau membawanya ke sisi yang kering kerontang, itupun kau membawanya dengan takdir Allah juga.”
Abu Ubaidah Menuju Negeri Al-Syam
Di tenggah-tengah masyarakat yang terjangkit Wabah Thaun, sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah ra nekad berangkat menuju negeri Al-Syam yang terkena Wabah Ganas Al-Thaun yang mematikan. Kemudian Abu Ubadillah Ibn Jarrah ra berkata kepada masyarakat “Wahai manusia! sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa para Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut.”
Ternyata, Sahabat Abu Ubadillah Bin Jarrah ra, juga terjangkit Wabah Thaun yang ganas, beliau wafat. Beliaupun wafat dalam kondisi syahid.
Kemudian dilanjutkan oleh Mu’adz bin Jabal ra, menggantikan Ubaidah untuk memimpin orang-orang, kemudian dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah.
“Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doanya para Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarga Mu’adz mendapat bagian dari rahmat tersebut.”
Sahabat Muazd juga terserang Wabah Al-Thaun sehingga wafat dan syahid.
Selanjutnya, digantikan oleh sahabat Amr bin al-Ash, beliau sosok sahabat yang rasioal di dalam memimpin masyarakat Al-Syam yang sedang berjibaku melawan Wabah Al-Thaun Awamis. Dengan kondisi yang sangat mencekam, Sahabat Amr Ibn Ash ra berkata dihadapan masyarakat.
“Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (suatu negri) maka dia akan melahapnya sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.”
Tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Abu Watsilah al-Hudzali ra, protes kerasa kepada Amr bin Ash dengan nada yang tidak menyenangkan “Demi Allah, kamu telah berdusta berdusta, saya pernah menyertai Rasulullah SAW, dan kamu lebih buruk daripada keledaiku ini.”
Seorang sahabat mencaci sahabat dengan bahasa yang sangat kasar sekali. Itu sangat wajar, karena kondisi sangat mencekam, setiap hari nyawa bergelimpangan konon, hampir 20.000-25.000 wafat, sebagiana dari mereka adalah sahabat Rasulullah SAW. Sangat wajar, jika kemudian Abu Watsilah al-Hudzali ra menyebut Sahabat Amr bin Ash ra disebut sosok yang lebih jelek dari seekor keledai.
Dengan sabar, Amr bin Ash ra menjawab “Demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu. Demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.” Ia kemudian turun dan orang-orangpun bubar.
Rupanya keputusan dan sikap Amr Ibn Ash ra di dalam menangani masalah Wabah Al-Thaun Awamis berhasil. Kebijakan Amr Ibn Ash as berhasil, walaupun mendapat protes kerasa dari sebagian masyarakat Al-Syam. Amr Ibn Ash melakukan kebijakan yang tidak lazim, yaitu mengisolasi masyarakat yang sedang terjangkit Wabah Al-Thaun ke bukit-bukit agar penularannya tidak masif seperti biasanya. Dalam bahasa sekarang “lockdown” demi menyelamatkan yang sehat, sehingga virus tidak menyebar secara massif.
Wabah Al-Thaun Awamis sangat cepat penularannya, dan belum ditemukan obatnya, sekaligus tingkat kematiannya sangat tinggi. Sehingga, kebijakan Amr Ibn Ahs selaku pemimpin sangat tepat. Walaupun mendapat kecaman dan kritikan dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW saat itu, juga dari masyarakat setempat.
Nah, ketika wabah Al-Thaun Awamis disejajarkan dengan Virus Corona sangat pantas. Walaupun tingkat kematiannya jauh berbeda. Tetapi, menyelamatkan nyawa iyu juah lebih penting. Wajar, jika kemudian negara-negara Arab, dan Asia melakukan kebijakan “setengah lockdown” demi menekan tingkat penularan Corona. Langkah pemerintah Indonesia selaras dengan langkah sahabat “Amr Ibn Ash”.
Sementara sebagian lagi mengambil langkah sebagaimana langkah “sahabat Ubadillah Ibn Jarrah” yang nekad memasuki negeri Al-Syam yang sedang terjangkit Wabah Al-Thaun Awsmis, karena kematian itu sudah menjadi ketentuan Allah SWT. Hanya saja, wabah Corona tidak seganas Al-Thoun yang menyerang negeri Al-Syam waktu itu.
Dan sebagian lagi mengambil kebijakannya sahabat Umar Ibn Al-Khattab ra, tidak mau masuk ke zona merah, karena akan tertular. Dan justru akan menimbulan jumlah korban yang lebih besar. Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab sangat tepat, karena Wabah tersebut benar-benar telah membunuh ribuan umat islam. Umar-pun yakin, semua masuk surga, karena dikategorikan mati syahid.
Ijtihad Abu Ubadilah juga sangat tepat, karena kehadirannya semua masyarakat merasakan kehadiran sosok pemimpin yang kuat. Jadi, tidak hanya mengandalkan wudhu (bersuci), dan sholat berjamaah dan berdiam di masjid. Kehadiran Abu Ubadillah benar-benar membuat masyarakat merasa nyaman dan tidak takut menghadapi wabah.
Ijtihad Amr Ibn Ash sangat kekinian dan tepat untuk masa sekarang tatkala menghadapi Virus Corona. Mengingat Virus Corona itu menyebarannya begitu cepat dan membahayakan. Khususnya bagi orang tua atau masih muda yang memilki riwayat penyakit tertentu.
Salah satu ciri khas Ahslussunah Waljamaah, bahwsanya semua para sahabat Rasulullah SAW adalah mulia dan patut menjadi panutan. Jangan sampai tidak setujua dengan ijtihab Amr Ibn Ash ra, kemudian ngotot tetap menjalankan ijtihadanya sendiri kemudian meremehkan, apalagi menghina.
Tidaklah aneh, jika ada sebagian ulama berpendapat agar menghindari kerumuman, mulai lembaga pendidikan, masjid, agar tidak semakin masif penularan Virus Corona. Itu termasuk ijtihad. Juga, tidak bermasalah jika tetap mengelar sholat berjamaah di Masjid, atau pengajian dan sholawatan dengan memperhatikan kebersihan.
Malang, 18/03/2020
Penulis: Abdul Adzim Irsad, alumnus Universitas Ummul Qura Makkah.
Sumber: bangkitmedia.com
Tinggalkan Balasan