Istilah Syubhat merupakan istilah yang memiliki makna spesifik dalam ilmu keislaman. Istilah ini sangat dikenal dan familiar di kalangan para penuntut ilmu agama.
Baik yang formal di sekolah agama seperti pesantren dan universitas maupun di kajian-kajian keagamaan di masjid dan berbagai media lainnya.
Namun, masih banyak kaum Muslimin yang belum mengetahui secara umum tentang pengertian syubhat dan seperti apa contoh dari syubhat itu.
Untuk itu, tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas dan jelas tentang pengertian syubhat berikut contoh-contoh yang memudahkan untuk memahaminya.
Definisi Syubhat
Pengertian syubhat secara lengkap bisa diketahui dari tinjauan bahasa dan tinjauan syar’i. Berikut ini penjelasannya:[i]
– Pengertian Syubhat Secara bahasa
Kata الشّبهة secara bahasa dari أشبه الشيء الشيء ‘sesuatu menyerupai yang lain ‘ yang berarti : ماثله في صفاته، ‘sesuatu itu memiliki karakteristik atau sifat yang seperti yang lain’ dan kata الشّبهة berarti المأخذ الملبس، والأمور المشتبهة ‘kekurangan yang terpoles’ dan perkara-perkara yang meragukan (menimbulkan tanda tanya). Artinya problemnya adalah kemiripan satu hal dengan yang lain. [Lisanul ‘Arab 13/503 dan Tajul ‘Arusy 8224]
– Pengertian Syubhat Secara istilah
قال الزركشي: “قال ابن سريج فى الودائع: أما الشبهة فهي الشيء المجهول تحليله على الحقيقة، وتحريمه على الحقيقة”
Az-Zarkasyi berkata,”Ibnu Suraij mengatakan di dalam Al-Wadai’,’Adapun syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui kehalalannya secara hakiki dan keharamannya secara hakiki.” [Al-Mantsur fil Qawa’id, 2/228]
وقال الحافظ ابن حجر: “المشتبه ما ليس بواضح الحل أو الحرمة، مما تنازعته الأدلة، وتجاذبته المعاني والأسباب، فبعضها يعضده دليل الحرام، وبعضها يعضده دليل الحلال”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Perkara syubhat adalah perkara yang tidak jelas halal dan haramnya karena dalil-dalil yang ada saling berlawanan, makna-makna dan sebab-sebabnya saling menarik. Sebagian dari dalil tersebut mendukung yang haram dan sebagiannya mendukung yang halal.” [dari Al-Qamus Al-Fiqhy, hal. 190]
Hadits Tentang Syubhat
Berikut ini hadits shahih yang menjelaskan adanya perkara yang bersifat syubhat. Kaum Muslimin diminta untuk menjauhi perkara semacam ini agar tidak terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan.
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَان بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ – رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang belum diketahui secara pasti hukumnya, pent) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Siapa saja yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
Ketahuilah, setiap raja memiliki batas-batas wilayah larangan dan batas-batas wilayah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah! Di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” [Hadits riwayat Al- Bukhari dan Muslim]
Kategori / Jenis Syubhat
Syubhat ada beberapa jenis. Perbedaan jenis ini merujuk kepada bidang di mana syubhat itu berada.
Syubhat yang disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan dalil-dalil yang saling berlawanan telah dibicarakan, tetapi ada pertimbangan lain untuk syubhat, yaitu yang dinamakan dengan fitnah.
Syubhat dari sudut pandang ini, terkadang sumbernya adalah karena penggunaan pikiran dan pengkajian dengan cara yang tidak konsisten, atau membebaskan pemikiran pada hal-hal yang tidak boleh ada penggunaan pemikiran dalam persoalan tersebut.
Berikut adalah penjelasan tentang jenis-jenis syubhat berdasarkan pertimbangan ini:
1. Syubhat yang tidak disengaja
Syubhat yang bersifat khusus yang dihadapi dan diderita oleh manusia karena bisikan Setan dan berlebihan dalam pemikiran dan analisis.
Di antara bidang syubhat jenis ini adalah masalah penciptaan, qadha’ dan qadar (takdir) dan beberapa hukum dan batasan-batasan agama.
2. Syubhat yang mempengaruhi pokok-pokok akidah:
Syubhat yang sistematis yang para pemiliknya menyeru kepadanya dan menetapkan kaidah-kaidah yang bertentangan dengan Islam dan merusaknya.
3. Syubhat umum
Syubhat yang mengarah pada perpecahan dan konflik antar umat Islam, contohnya adalah berbagai bid’ah dan perkara baru di bidang agama.
4. Syubhat yang memalingkan seseorang dari kebenaran.
Syubhat yang memalingkan hati dan akal manusia dari kebenaran dan petunjuk, baik seluruhnya maupun sebagian.[ii]
Syubhat Dalam Dakwah
Dr. Abdul Karim Zaidan memberikan rincian yang berbeda tentang macam-macam syubhat. Beliau memandangnya dari sudut pandang dakwah Islamiyah dan hal-hal yang terkait dengannya.
Menurut beliau jenis-jenis syubhat yang paling penting adalah sebagai berikut:
1. Syubhat terkait Islam secara umum
Syubhat jenis ini sangatlah banyak. Syubhat-syubhat yang menyebar adalah seputar poligami, hijab wanita, budak, hak-hak wanita dalam Islam dan lain-lain.
2. Syubhat terkait dengan sang Dai (Subyek dakwah / Juru dakwah)
Syubhat yang terkait dengan sang dai bisa berupa tuduhan terhadap kepribadiannya, sejarah hidupnya, perilakunya, memberikan stigma negatif kepadanya, menuduhnya dengan sebutan orang pandir, bodoh, sesat, gila dan berbagai hal lainnya yang bersifat mengada-ngada.
Tujuannya adalah untuk menjauhkan manusia dari dirinya dan tidak lagi percaya keapdanya.
Rasulullah ﷺ dituduh sebagai orang gila dan tukang sihir. Sebelum beliau, Nabi Musa ‘alaihis salam dituduh Fir’aun demikian:
إِنَّ رَسُولَكُمْ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ
“Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kalian ini benar-benar orang yang gila.” [Asy-Syu’ara’: 27]
Demikianlah para ulama dan pelaku perubahan ke arah yang lebih baik. Di sekitar mereka disebarkan syubhat yang banyak. Akal, akhlak dan kehormatan mereka dicemarkan.
3. Syubhat terkait dengan tema dakwah, manhaj dan caranya.
Syubhat terkait dengan tema dakwah bisa berupa tuduhan bahwa tema dakwah tersebut merupakan bentuk bid’ah, menyimpang dari kebiasaan, tradisi dan aturan mereka yang turun temurun.
Tujuan dari menyebarkan syubhat semacam itu adalah menjauhkan manusia dari dakwah kepada Allah dan menghalangi manusia dari jalan Allah.
4. Syubhat terkait dengan mad’u (obyek dakwah)
Sedangkan syubhat yang terkait dengan obyek dakwah bisa berupa menunjukkan ambisi terhadap kepentingan mereka dan agama mereka, serta agama nenek moyang mereka serta menjaga kenikmatan dan kehidupan mereka yang sudah tenteram.
Tujuannya adalah menghasung semangat masyarakat untuk melawan para dai kepada Allah.[iii]
Ciri-Ciri Syubhat
Di dalam hadits tentang syubhat tersebut Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa yang halal dan haram itu sudah jelas. Kedua hal tersebut telah terang bagi umat berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan gamblang.
Sesuatu yang halal adalah apa saja yang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan sesuatu yang haram adalah apa saja yang telah dijelaskan oleh dalil tentang keharamannya. Di antara kedua hal tersebut ada perkara syubhat.
Ciri khas dari syubhat adalah status hukum perkara tersebut tidak diketahui oleh mayoritas manusia.
Ketidakjelasan status hukum ini bisa disebabkan oleh adanya pertentangan nash-nash yang ada atau tidak terdapatnya nash dalam perkara tersebut atau dikarenakan adanya perselisihan pendapat di antara para ahli ilmu.[iv]
Tingkatan Syubhat
Syubhat itu tidak berada pada satu level. Syubhat itu ternyata bertingkat-tingkat. Tingkatan-tingkatan syubhat adalah sebagai berikut:
- Syubhat yang wajib untuk dijauhi.
Sebabnya adalah karena melakukan syubhat tingkat pertama ini bisa mengantarkan kepada tindak pelanggaran terhadap perkara yang dilarang.
Misalnya, seseorang ingin menikahi seorang wanita sementara dia ragu apakah dia itu saudara sesusuannya ataukah tidak.
- Syubhat yang hukum asalnya mubah
Hal ini seperti orang yang ragu dalam hal talaknya kepada istrinya. Bila demikian, hukum asalnya adalah istrinya itu masih tetap dalam tanggung jawabnya hingga mendapakan keyakinan tentang status talaknya.
- Perkara-perkara yang berkisar antara halal dan haram. Yang utama adalah meninggalkan perkara-perkara semacam ini.
- Segala hal yang dianjurkan untuk dijauhi.
- Segala hal yang dimakruhkan untuk dijauhi.
Hal ini misalnya adalah sebagian kalangan yang meninggalkan rukhshah-rukhshah yang disyariatkan karena bersikap ketat.[v]
Contoh Syubhat
Berikut ini sejumlah contoh tentang masalah syubhat dalam beberapa persoalan:
1. Contoh Uang Syubhat / Harta Syubhat
Imam Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni berkata, “Jika dia membeli dari orang yang dalam hartanya ada yang halal dan ada yang haram, misalnya orang yang zhalim dan orang yang suka memberi pinjaman dengan riba, apabila dia mengetahui bahwa apa yang dijual itu berasal dari hartanya yang halal, maka ia halal dan bila dia mengetahui apa yang dijual itu dari hartanya yang haram maka ia haram.
Bila dia tidak mengetahui barang yang dijual itu berasal dari harta (penjual) yang halal atau haram, kami memakruhkannya karena ada kemungkinan adanya harta haram di dalamnya namun jual belinya tidak batal karena ada kemungkinan halal dengan sedikit yang haram atau pun banyak.
Inilah syubhat. Kadar syubhat yang ada dalam barang yang dijual tersebut sesuai dengan banyak sedikitnya kadar keharaman.[vi]
2. Contoh Makanan Syubhat
وعن أَنسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَجَدَ تَمْرَةً فِي الطَّرِيقِ فقالَ: لَوْلا أَنِّي أَخافُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَةِ لأَكَلْتُها متفقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ mendapati sebuah kurma di jalan, maka beliau berkata, “Kalau bukan karena aku khawatir kurma ini berasal dari kurma sedekah pasti aku memakannya.” [Muttafaq ‘alaihi. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
إِنِّي لأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي فَأَرْفَعُهَا لآكُلَهَا ، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلْقِيهَا ] البخاري عن أبي هريرة[
Rasulullah ﷺ bersabda,
”Aku pulang kepada keluargaku, lalu aku mendapati sebutir kurma terjatuh di tempat tidurku, lalu aku mengambilnya untuk memakannya, namun aku khawatir itu adalah sedekah maka aku membuangnya,” [Hadits riwayat Al- Bukhari dan Muslim]
3. Contoh Perkara Syubhat
Untuk contoh perkara syubhat bisa dilihat dari kisah terkait sikap wara’ atau wira’i Imam Abu Hanifah rahimahullah pendiri madzhab Hanafi dan Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah, ulama terkemuka madzhab Syafi’i berikut ini:
Dari Ali bin Hafsh Al-Bazzar, dia berkata, ”Hafsh bin Abdirrahman adalah teman dekat Abu Hanifah. Pada suatu ketika Abu Hanifah mempersiapkan suatu hadiah untuknya. Kemudian dia pun diundang Abu Hanifah untuk datang mengambil barang tersebut yang di antaranya terdapat sebuah baju.
Abu Hanifah memberitahukan kepadanya bahwa baju tersebut ada cacatnya sehingga jika dia menjualnya, maka harus diterangkan cacat tersebut. Ketika Ali bin Hafsh menjual barang itu, dia lupa menjelaskan cacat yang ada. Dia juga tidak tahu kepada siapa barang tadi dijualnya.
Ketika Abu Hanifah mengetahui hal itu, dia lalu mengeluarkan shadaqah dengan jumlah seharga barang yang dijual sahabatnya itu.” [TarikhBagdadl3/353.][vii]
Tentang Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Katsir mengatakan, ”Kewara’an Imam An-Nawawi adalah suatu wira’i yang tidak pernah kita dengar bahwa ada seseorang yang menyamai kewara’annya pada masanya atau masa sebelumnya dalam rentang waktu yang panjang.” [Tadzkirah Al-Huffazh,4/1472]
Sedangkan yang dimaksud wira’i adalah mencegah diri dari perkara yang diharamkan, menjauhi perkara yang status hukumnya belum jelas (syubhat) karena takut terjerumus pada haram dan meninggalkan perkara yang diperbolehkan karena takut terjatuh pada perkara yang tidak diperbolehkan.
Karena sifat wira’i, ia tidak makan dari buah-buahan Damaskus dengan alasan di Damaskus banyak buah-buahan wakaf dan milik orang-orang yang tidak diperbolehkan secara hukum mempergunakan hartanya.
Maka dari itu, menurutnya, tidak boleh serampangan dalam memakan buah-buahan di Damaskus dengan alasan ingin memiliki atau memperoleh masalahat tertentu. Di samping itu, proses penggarapan pertanian buah-buahan di Damaskus dilakukan dengan cara akad musaqah, suatu akad yang masih diperselisihkan para ulama. Ia mengatakan, “Bagaimana aku mau memakan buah-buahan seperti itu?”
Imam As-Suyuthi mengatakan,”Ia telah melelahkan dirinya dan menyenangkan Tuhan dan hatinya. Padahal, ia mengetahui bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Ia juga telah memberikan fatwa dengan kaidah tersebut dan mengukuhkannya dalam kitab-kitabnya, sebagaimana dalam memakan tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui namanya.
Al-Mutawalli mengatakan,”Tumbuh-tumbuhan tersebut haram.” Sementara Imam An-Nawawi mengatakan,”Pendapat yang lebih dekat pada kebenaran dan sesuai dengan kaidah yang diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i adalah pendapat yang mengatakan itu mubah.” [Al-Asybah wa An-Nazhair,hlm.67.]
Jika ia mengikuti kaidah fikih tersebut, maka tidak ada larangan baginya untuk memakan buah-buahan Damaskus karena kaidah tersebut Insya Allah sudah menjadi hujjahnya pada saat bertemu dengan Tuhannya di akhirat.
Namun, jiwanya yang lembut dan suci tidak membolehkan memakan makanan yang bertentangan dengan kewara’an, sebab ia mengetahui tidak adanya tanggung-jawab yang sempurna dari orang-orang yang diberi kekuasaan untuk menangani perwakafan.[viii]
Dari dua kisah tersebut bisa diketahui gambaran praktis dari perkara syubhat yang muncul di tengah masyarakat dan bagaimana mensikapinya.
Demikian pembahasan tentang pengertian syubhat dan contoh-contohnya. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Apabila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari rahmat Allah Ta’ala semata dan bila ada kesalahan dan penyimpangan maka itu dari kami dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.
[i] https://www.alukah.net/sharia/0/104497/
[iii] Ushulud dakwah, Abdul Karim Zaidan, Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, Kuwait, 1981, hal. 411-412.
[iv] http://m-islam.com/art/s/1270
[vii] Lihat: 60 Biografi Ulama Salaf, Dr. Ahmad Farid, Pustaka Al-Kautsar, hal. 175.
[viii] Ibid, hal. 765-766.
Incoming search terms:
- https://pusatjamdigital com/pengertian-syubhat/ (3)
- jika syubhat tidak disengaaja (1)
- syubhat adalah (1)
- syubhat dan contohnya (1)
Tinggalkan Balasan