Perang Shiffin adalah peperangan yang terjadi setelah Rasulullah ﷺ tiada. Jadi, ini bukan termasuk ghazwah maupun sariyah. Terkait perang shiffin, hal ini pernah beliau sabdakan dalam salah satu haditsnya:
: لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ، يَكُـونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ، دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ.
“Kiamat tidak akan terjadi sehingga dua kelompok besar berperang satu sama lain. Jumlah korban tewas di antara keduanya sangat besar, padahal seruan (dakwah) mereka itu sama.” [Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
Dua kelompok itu adalah kelompok Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan orang-orang yang bersamanya dan kelompok Muawiyah radhiyallahu ‘anhu dengan orang-orang yang bersamanya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.[Fathul Baari (XIII/85].
Pertempuran dua kelompok besar tersebut dalam sejarah dikenal dengan perang Shifin.
Tulisan berikut ini akan mengulas tentang perang besar antara sesama umat Islam ini, dengan fokus utama tentang pelajaran yang ada di dalamnya.
Apa Itu Perang Shiffin?
Perang Shiffin adalah pertempuran yang terjadi antara tentara Ali bin Abi Thalib dan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb pada tanggal 26 Juli 657 M / 37 H.
Perang ini merupakan kelanjutan dari fitnah yang menyebabkan terbunuhnya khalifah ketiga Utsman bin ‘Affan di tangan para pemberontak yang berkumpul di Mesir dan sekitarnya. [i]
Kapan Terjadi Perang Shiffin?
Perang Shifin terjadi pada bulan Shafar tahun 37 Hijriah bertepatan dengan bulan Juli tahun 657 M.
Perang ini terjadi setelah perang Jamal yang merupakan konflik pertama di kalangan umat Islam yang melibatkan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ, bahkan istri Nabi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha terlibat di dalamnya.
Penyebab Perang Shiffin
Sesungguhnya salah satu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi ﷺ dan merasa ridha dengan seluruh sahabat Nabi ﷺ.
Selain itu Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa para sahabat yang sedang bertikai itu adalah orang-orang yang telah berijtihad dalam rangka mencari kebenaran. Yang benar ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala. Sedangkan yang keliru hanya mendapatkan satu pahala.
Tidak selayaknya mengandalkan berita-berita dusta yang memenuhi buku-buku sejarah yang merendahkan martabat para sahabat pilihan tersebut dan menggambarkan bahwa perselisihan yang terjadi di antara sahabat tersebut adalah perselisihan pribadi atau duniawi.
Dan motif pribadi dan duniawi inilah yang menyebabkan peperangan diantara para sahabat pilihan radhiyallahu ‘anhum.
Jadi perang Shifin atau pertempuran Shifin adalah pertempuran yang berlangsung antara tentara Ali radhiyallahu ‘anhu dan tentara Muawiyah radhiyallahu ‘anhu yang disebabkan oleh adanya perselisihan di antara keduanya seputar para pembunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu.
Muawiyah dan para sahabatnya menuntut darahnya Utsman dan menuntut qishash terhadap para pembunuh Utsman. Sedangkan Ali meminta Muawiyah dan para sahabatnya agar berbaiat (menyatakan sumpah setia) kepada Ali terlebih dahulu sehingga terwujudlah kesatuan umat pada satu pemimpin setelah itu baru menyelidiki persoalan pembunuhan Utsman.[ii]
Sesungguhnya masing-masing pihak di dalam perang Jamal maupun perang Shifin itu sama sekali tidak ingin memerangi yang lain.
Yang memicu terjadinya pertempuran adalah orang-orang zhalim dari kalangan para pembunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu yang ada di antara kedua pihak tersebut dan juga orang-orang munafik.
Para pembunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menyebar di tengah-tengah masyarakat.
Sebaiknya kita menjauh dari tenggelam dalam pembicaraan tentang perselisihan di antara para sahabat. Sesungguhnya madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menahan diri dari tenggelam dalam membicarakan perselisihan di antara para sahabat.
Juga meyakini bahwa persoalan tersebut merupakan persoalan ijtihad dari mereka. Sebaiknya kita berpegang teguh dengan perkataan Umar bin Abdul Azis rahimahullah,
تلك فتنة عصم الله منها سيوفنا فلنعصم منها ألسنتنا
“Hal itu merupakan fitnah yang Allah telah melindungi pedang-pedang kita dari fitnah tersebut maka hendaklah kita benar-benar melindungi lisan kita dari fitnah tersebut.” [iii]
Ringkasan Sejarah Perang Shiffin
Ketika Ali bin Abi Thalib menerima amanah kekhilafahan, beliau memulai dengan mencopot sebagian dari para pejabat dan menggantinya dengan yang lain. Di antara yang dicopot jabatannya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan yang memimpin wilayah Syam.
Pendapat Ali Radhiyallahu ‘anhu dalam hal para pembunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah tidak terburu-buru dalam hal qishash sebelum kondisi menjadi stabil dan kekuasan kekhilafahan menjadi kuat.
Sementara Muawiyah berpendapat sebagaimana para pendukung perang Jamal yaitu bersegera dalam menuntut qishash terhadap para pembunuh Utsman. Ali menetapkan untuk mencopot Muawiyah dari posisi sebagai pemimpin wilayah Syam.
Ali mengangkat Sahal bin Hanif sebagai pengganti Muawiyah. Ketika Sahal bin Hanif berjalan menuju Syam, para penduduk Syam menolaknya dan Muawiyah menolak pencopotan dirinya karena dia memandang bahwa persoalannya belum sepenuhnya stabil di pihak Ali.
Khususnya, para pembunuh Utsman masih berkeliaran di berbagai wilayah. Maka Ali mengambil sikap tegas. Dia tidak mau bersikap lunak dalam masalah semacam ini. Dia lantas menggerakkan pasukan menuju ke Syam dan langsung dipimpin oleh dirinya.
Namun dia beralih menuju Bashrah setelah mendengar keluarnya Thalhah dan Zubair serta ‘Aisyah dan orang-orang yang bersamanya. Itulah peristiwa perang Jamal.
Setelah selesai dari perang Jamal dan menetap di Kufah selama beberapa waktu, Ali mengutus Jarir bin Abdullah ke Muawiyah agar Muawiyah berbaiat kepada Ali dan menjelaskan hujjah atau argumentasi Ali dalam persoalan para pembunuh Utsman.
Akan tetapi Muawiyah tidak memberikan jawaban. Setelah itu utusan datang berturut-turut namun tidak ada hasilnya sama sekali. Akhirnya Ali menggerakkan pasukannya.
Muawiyah mengetahui persoalan tersebut dan menggerakkan pasukannya terlebih dahulu ke Shiffin dan menguasai sumber airnya.
Saat Ali tiba di sana, dia meminta agar sumber air tersebut dibebaskan untuk kedua belah pihak, namun mereka menolaknya. Akhirnya para penduduk Irak berhasil menyingkirkan mereka dari sumber air dan Ali radhiyallahu ‘anhu membebaskan sumber air itu untuk kedua belah pihak.
Selama beberapa hari kemudian tidak terjadi pertempuran di antara mereka. Setelah itu terjadi pertempuran. Lalu masuklah bulan Muharram (salah satu bulan haram) sehingga kedua belah pihak menghentikan peperangan dengan harapan terjadi perdamaian di antara mereka.
Para duta dari masing-masing pihak telah diutus namun tidak ada hasilnya. Ali tetap pada pendapatnya dan Muawiyah tidak mau menyambut permintaan Ali. Kemudian terjadilah pertempuran kecil hingga berlanjut di bulan Shafar.
Setelah itu, terjadilah pertempurna besar selama tiga hari. Dalam pertempuran tersebut ‘Ammar bin Yasir terbunuh di dalamnya. Rasulullah ﷺ bersabda tentang ‘Ammar bin Yasir:
وَيْحَ عمَّارٍ تَقْتُلُهُ الفِئَةُ الباغِيَةُ
”Kasihan ‘Ammar. Dia akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.”
Ketika tanda-tanda kekalahan mulai tampak pada para penduduk Syam, mereka mengangkat mushaf Al-Quran, dan menawarkan tahkim (arbitrase-usaha untuk melerai dua pihak yang bersengketa atau disebut juga dengan perundingan damai).
Lalu ditulislah dokumen arbitrase dengan disaksikan oleh perwakilan dari masing-masing pihak. Setelah itu, Ali pergi menuju ke Kufah dan Muawiyah kembali ke Syam. Kemudian berkumpullah dua orang juru runding. Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Muawiyah.
Namun pertemuan keduanya belum menampakkan kesepakatan apa pun yang yang menjadikan Ali bersiap-siap untuk menuju Syam kedua kalinya. Akan tetapi, persoalan Khawarij telah menghalangi dirinya dari hal tersebut.[iv]
Pelajaran Hikmah Dari Perang Shiffin
Beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari perang Shifin adalah sebagai berikut:[v]
- Persoalan pemerintahan merupakan salah satu persoalan yang paling kompleks.
Sesungguhnya orang-orang yang memperhatikan dan mencermati peristiwa besar yang terjadi sejak meninggalnya Amirul Mukminin ‘Utsman bin’Affan radhiyallahu ‘anhu akan mengetahui bahwa apa yang telah terjadi dan apa yang tengah berlangsung pada periode sejarah ini merupakan ujian paling dahsyat yang dihadapi umat Islam semenjak diutusnya Nabi Muhammad ﷺ .
Orang yang mengkaji dan mencermati peristiwa-peristiwa tersebut dengan pandangan yang adil dan proporsional akan mengetahui secara yakin bahwa masalah pemerintahan merupakan perkara yang paling kompleks.
Hal itu nampak jelas di penghujung masa periode Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan masa kekhalifahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Bila kita perhatikan, peristiwa-peristiwa dalam perang Jamal dan Shiffin, kita akan melihat bahwa akan sangat sulit bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada saat itu untuk secara langsung menguasai kondisi dan mengendalikan secara penuh urusan negara dan membuat ridha semua pihak yang beragam yang saling bertikai.
Hal itu karena keberadaan kelompok Sabaiyyah di barisan yang menghasut massa dan menyebarkan fitnah.
Ketika suara mulai meninggi, banyak teriakan di antara manusia, banyak desas-desus yang tersebar di masyarakat, semua itu akan menyebabkan lemahnya suara akal sehat sehingga tidak akan ada yang mendengarnya kecuali sedikit saja.
- Semangat saja tidaklah cukup. Dan keikhlasan semata juga tidak memadai. Harus memperhatikan realitas dan menimbang dengan cermat antara maslahat dan madharat serta menentukan tempat-tempat yang kuat dan lemah.
Harus memperhatikan maslahat tertinggi bagi umat dan negara. Menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih maslahat. Harus menanggung madharat yang bersifat khusus untuk menghilangkan madharat yang bersifat umum.
Orang-orang yang menuntut darahnya Utsman radhiyallahu ‘anhu, kami menganggap mereka semua di atas kebaikan. Kami tidak menuduh niat mereka akan tetapi mereka keliru dalam ijtihadnya dan penilaian mereka terhadap berbagai perkara.
Yang lebih utama adalah kita menjaga persatuan umat dan darah kaum Muslimin meskipun hal itu akan menyebabkan dilakukannya sebuah kerusakan yang lebih ringan dari kerusakan yang lain.
Syariat itu pondasinya adalah mewujudkan maslahat dan menyempurnakannya serta menghilangkan kerusakan dan meminimalkannya.
Oleh karenanya, harus dijaga kaidah: “Mempertimbangkan kemampuan dan kelemahan”, “Kehilangan maslahat yang lebih kecil dari dua masalahat yang ada demi meraih masalahat yang lebih besar.”
Demikian juga harus menjaga kaidah: “Melakukan mafsadat yang lebih kecil dari dua mafsadat yang ada untuk menghilangkan mafsadat yang lebih besar.” Juga kaidah: “Mempertimbangkan berbagai dampak/akibat.”
Dalam hal inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tepat ijtihadnya dan telah keliru pihak yang lain. Bahkan pendiriannya tersebut menunjukkan kedalaman pemahamannya dan kecerdasannya radhiyallahu ‘anhu.
- Semangat yang tercampur dengan emosi saja tanpa memperhatikan pedoman-pedoman kaidah di atas tidak akan selaras dengan metode perubahan yang benar.
- Sesungguhnya duduk di meja delegasi dan upaya mendamaikan antara pihak-pihak yang bertikai adalah salah satu sebab memelihara darah kaum Muslimin. Salah satu sebab kelemahan adalah kerasnya perselisihan antara pihak-pihak yang berselisih tersebut hingga meskipun proses upaya damai itu memakan waku lama.
Dengan berjalannya waktu, jiwa-jiwa itu akan menjadi tenang dan jernih. Oleh karenanya, kita melihat bahwa kedua juru runding dan mereka yang bersamanya tidak mampu untuk mencapai penyelesaian yang tuntas dalam persoalan tersebut.
Akan tetapi, semata duduknya mereka itu sudah menjadi semacam obat dari luka yang menganga dan terjadi pendarahan.
- Wajib untuk menahan lisan kita dari pertikaian apa pun di antara para sahabat kecuali yang sesuai dengan mereka radhiyallahu ‘anhum. Karena, terlalu jauh masuk dalam pembahasan mengenai persoalan tersebut akan menyebabkan lahirnya permusuhan dan kedengkian serta kemarahan terhadap salah satu dari dua pihak yang bertikai tersebut.
Setiap Muslim wajib untuk mencintai semua pihak dan meridhai mereka dan mendoakan rahmat untuk mereka, menjaga keutamaan mereka, mengakui mereka adalah para pendahulu dalam Islam dan menyebarkan kebaikan mereka.
Apa saja pertikaian yang terjadi di antara mereka hanyalah merupakan buah dari ijtihad. Semuanya mendapatkan pahala dalam keadaan benar dan salah.
Hanya saja pahala orang yang tepat ijtihadnya itu lebih banyak dari yang keliru ijtihadnya. Dan mereka yang terbunuh maupun yang membunuh dari kalangan sahabat berada di dalam surga.
Ini merupakan madzhab Ahlus Sunnah wal jamaah bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang benar ijtihadnya dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu itu meskipun keliru ijtihadnya dia akan mendapat pahala insya Allah.
Namun demikian, Ali-lah sang Imam. Baginya dua pahala sebagaimana telah ditegaskan dalam Shahih Al-Bukhari:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ
”Apabila seorang pemimpin menetapkan hukum lalu dia berijtihad kemudian ternyata tepat maka baginya dua buah pahala dan apabila menetapkan hukum lalu dia berijtihad kemudian ternyata keliru maka baginya satu pahala.” [Al-Bukhari dengan Syarahnya Fathul Bari 13/318]
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [Al-Hujurat: 9]
Pada ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan ishlah di antara orang-orang mukmin yang sedang berperang karena mereka itu bersaudara.
Peperangan ini tidak mengeluarkan mereka dari sebutan iman, karena Allah sendiri menyebut mereka sebagai orang-orang beriman.
Allah memerintahkan untuk melakukan ishlah di antara mereka apabila terjadi peperangan di antara kaum mukminin secara umum. Hal itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan.
Dengan demikian, para sahabat Rasulullah ﷺ yang saling berperang dalam perang Jamal dan setelahnya adalah orang pertama yang masuk dalam sebutan iman yang disebutkan dalam ayat ini.
Maka mereka di sisi Allah Ta’ala tetaplah orang-orang mukmin sejati dan pertikaian yang terjadi di antara mereka sama sekali tidak berpengaruh dalam iman mereka karena hal itu terjadi dari hasil ijtihad mereka.
Dari Umar bin Abdul Azis rahimahullah, dia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah ﷺ dalam mimpi. Abu Bakar dan Umar sedang duduk di sampingnya. Lalu aku mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ kemudian aku duduk.
Ketika aku sedang duduk, Ali dan Muawiyah didatangkan. Mereka berdua dimasukkan ke dalam sebuah rumah lalu pintunya ditutup.
Aku melihat, tak lama kemudian Ali radhiyallahu ‘anhu keluar sambil berkata, ”Aku diputus benar demi, Rabb Ka’bah.” Setelah itu keluarlah Muawiyah sambil berkata, ”Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.” [Al-Bidayah wan Nihayah, 8/133]
- Kita wajib untuk meridhai pihak ketiga yang menjauhi fitnah tersebut seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar dan selain mereka berdua radhiyallahu ‘anhuma.
Sayangnya, sebagian ahli sejarah mendiskreditkan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahkan menganggapnya telah fasiq. Mereka semua telah lupa bahwa Muawiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu penulis wahyu bagi Rasulullah ﷺ.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ولم يكن معاوية ممن يختار الحرب ابتداءً، بل كان مِن أشد الناس حرصًا على أن لا يكون قتال
”Muawiyah bukanlah orang yang sejak semula memilih perang. Bahkan dia termasuk orang yang paling berusaha keras agar tidak terjadi peperangan.”
Pada akhirnya kami tegaskan bahwa periode sejarah ini merupakan masa paling berbahaya yang telah dilalui oleh umat ini dan fitnah ini termasuk fitnah yang paling dahsyat. Segala urusan hanyalah milik Allah, sebelumnya maupun sesudahnya.
Dari sini menjadi jelas, golongan-golongan sesat dan kelompok-kelompok yang menyimpang itu harus diperangi secara pemikiran, sosial dan keamanan.
Hal ini karena ketika kelompok-kelompok tersebut menyebar di negeri- negeri kaum Muslimin, hal itu akan membahayakan kaum Muslimin, mengancam keamanan dan stabilitas serta membuat manusia ragu dengan akidahnya.
Inilah keadaan Khawarij yang memberontak kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, mengkafirkannya dan salah seorang dari mereka kemudian membunuhnya dengan mengklaim bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan tersebut.
Mereka tidak memiliki sandaran dan bukti dalam hal itu. Mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu dan mentaati setan.
Para ulama dan dai harus melaksanakan kewajiban mereka dalam persoalan ini untuk menjaga Islam dan kaum Muslimin serta untuk mengokohkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Inilah jalan ideal untuk menguatkan persatuan dan menyatukan barisan. Siapa saja yang memperhatikan sejarah Islam yang panjang akan mendapati bahwa negara-negara yang berdiri di atas sunnah adalah negara-negara yang menyatukan kesatuan kaum Muslimin dan dengan persatuan tersebut Islam menjadi mulia dahulu dan sekarang.
Hal ini berbeda dengan negara-negara yang berdiri di atas bid’ah dan menyebar luaskan kekacau balauan, perpecahan dan hal-hal yang baru dalam agama, maka hal itu akan memecah persatuan. Negara-negara semacam ini akan segera punah.
Pendapat Para Ulama Tentang Perang Shiffin
Berikut beberapa komentar para ulama yang kami kumpulkan terkait dengan perang shiffin
– Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah ditanya mengenai perang yang terjadi di antara para sahabat, maka dia menjawab,
تلك دماء طهر الله يدي منها؛ أفلا أطهر منها لساني؟! مثل أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- مثل العيون, ودواء العيون ترك مسها
“Itu adalah darah yang Allah telah mensucikan tanganku darinya. Tidakkah aku sucikan lisanku dari darah tersebut? Perumpamaan para sahabat adalah seperti mata. Obat dari mata adalah dengan tidak menyentuhnya.!”
– Al Baihaqi
Al-Baihaqi rahimahullah memberikan komentar terhadap perkataan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tersebut, “Ini sikap yang baik nan indah. Karena diamnya seorang pria dari apa yang tidak memberikan manfaat kepadanya adalah sikap yang benar.”
– Al Hasan Al Bashri
Al-Hasan Al-Bashri ditanya tentang perang di antara para sahabat, maka beliau menjawab,
قتال شهده أصحاب محمدٍ -صلى الله عليه وسلم- وغبنا, وعلموا وجهلنا, واجتمعوا فاتبعنا, واختلفوا فوقفنا
”Itu adalah peperangan yang diikuti oleh para sahabat Muhammad ﷺ sementara kita tidak turut serta. Mereka mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui. Mereka bersatu maka kita ikuti. Dan bila mereka berselisih maka kita berdiam diri.” [Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Qurthubi, 16: 332]
– Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Apa pendapat anda tentang perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma? Imam Ahmad menjawab,
ما أقول فيهم إلا الحسنى
“Aku tidak berbicara tentang mereka kecuali yang baik.”
– Abu Bakar Al Baqilani
Abu Bakar al-Baqilani rahimahullah berkata, “Harus diketahui bahwa kita harus menahan diri terhadap persesilihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi ﷺ. Kita mendoakan mereka semua agar mendapatkan rahmat. Kita memuji mereka semua dan memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada mereka ridha dan keamanan, keberuntungan dan surga.
Kita meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu adalah benar dan baginya dua pahala. Apa yang muncul dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum itu adalah hasil dari ijithad mereka maka bagi mereka pahala.
Kita tidak menyatakan mereka fasik dan tidak pula menyatakan mereka adalah pelaku bid’ah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
”Sungguh, Allah telah Meridhai orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia Memberikan ketenangan atas mereka dan Memberi balasan dengan kemenangan yang dekat,.” [Al-Fath: 18]
– Ibnu Katsir
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Perselisihan yang terjadi di antara para sahabat setelah Nabi ﷺ , di antaranya ada yang terjadi tanpa ada kesengajaan seperti peristiwa perang Jamal. Ada juga yang merupakan hasil dari sebuah ijtihad seperti perang Shiffin.
Ijtihad tersebut keliru namun pelakunya dimaafkan. Bila keliru maka dia dia mendapat pahala juga, sedangkan yang benar ijtihadnya maka baginya dua pahala.” [Al-Ba’its Al-Hatsits Ikhtishar ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir, hal. 182]
– Ibnu Hajar al Asqolani
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat atas wajibnya melarang tindakan mendiskreditkan (merusak reputasi) seseorang dari sahabat dengan sebab peperangan yang mereka alami meskipun diketahui siapa yang benar dari mereka.
Ini karena peperangan tersebut hanya terjadi berdasarkan ijtihad. Bahkan telah jelas bahwa dia diberi satu pahala satu sedangkan yang bernar ijtihadnya diberi dua pahala.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar, 13/34]
Demikian pembahasan tentang beberapa pelajaran dari perang Shiffin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepada kita semuanya dari berbagai pelajaran penting yang ada di dalamnya.
Apabila ada kebenaran di dalam tulisan ini maka itu dari Allah semata dan bila ada kesalahan dan penyimpangan maka dari kami dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.
[ii] sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/187905/سبب-حرب-صفين
Incoming search terms:
- https://pusatjamdigital com/pelajaran-hikmah-perang-shiffin/ (9)
- Hujjah muawiyyah tidak berbaiat kepada ali (1)
Tinggalkan Balasan