Bagaimana Hukum Mengungsi di Masjid? Apakah hal itu diperbolehkan? Apakah hal itu pernah terjadi di di Zaman Nabi?
Tulisan ini hendak menjelaskan hukum mengungsi di masjid. Tujuannya adalah agar masyarakat mengetahui bagaimana pandangan syariat terhadap persoalan tersebut.
Ini penting karena bagaimana pun, selama ini sudah banyak terjadi berbagai bencana dan salah satu tempat penampungan para pengungsi yang sering dipakai adalah masjid
Fungsi Masjid dalam Islam
Bila kita mengkaji sejarah hidup Rasulullah ﷺ, akan kita dapati bahwa Rasulullah ﷺ tidak hanya menjadikan masjid sebagai tempat untuk melakukan berbagai ibadah bagi Umat Islam.
Selain sebagai tempat Ibadah, Rasulullah ﷺ juga memfungsikan masjid sebagai tempat mengajarkan ilmu dan menuntut ilmu.
Selain itu, beliau juga pernah mengutus utusan resmi ke Yaman dan menerima utusan resmi salah satu negeri Arab di luar Madinah di Masjid Nabawi. Nabi ﷺ juga menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah persoalan-persoalan umat dan negara.
Di masa genting saat datang ancaman serangan musuh dari luar, seperti saat perang Ahzab, Nabi ﷺ melakukan musyawarah di masjid dengan para sahabat tentang bagaimana strategi menghadapi musuh tersebut. Ini berarti masjid difungsikan sebagai markas besar para tokoh militer.
Di Masjid Nabawi pula Nabi ﷺ menyelesaikan pertikaian di antara anggota masyarakat, memberikan keputusan hukum sebagai hakim, pernah membiarkan seorang tawanan penting diikat di masjid dan mengizinkan adanya pelatihan senjata yang diadakan oleh orang – orang Habasyah.
Nabi ﷺ juga pernah menyelenggarakan akad nikah salah seorang sahabat di masjid dan menjadikan salah satu tempat di masjid sebagai area pendirian tenda sebagai rumah sakit darurat saat perang Ahzab.
Di masa awal hijrah, ada sejumlah sahabat Nabi ﷺ yang tidak memiliki tempat tinggal karena lemah secara ekonomi. Nabi ﷺ memberikan ruang khusus bagi mereka untuk tinggal di dalamnya. Ruang itu dinamakan dengan Shuffah dan penghuninya disebut Ahlush Suffah.
Shuffah tadi berfungsi menjadi semacam shelter sementara atau asrama sementara bagi mereka yang mendapat problem tempat tinggal. Bahkan para tamu Nabi ﷺ dari luar Madinah juga ditempatkan di sana bila tidak ada kerabat mereka di Madinah sampai urusannya dengan Nabi ﷺ selesai.
Ahlus Suffah di Masa Nabi ﷺ
Mengenai sejarah pembuatan Shufah di Masjid Nabawi sebagai tempat bernaung sementara bagi mereka yang sedang tertimpa kesulitan dalam masalah tempat tinggal, Dr. Akram Dhiya’ Al Umari memberikan ulasan panjang lebar dalam kitab sirahnya sebagai berikut:
“Hijrah kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah Al-Munawarah telah menimbulkan persoalan yang terkait dengan kehidupan kaum Muhajirin yang meninggalkan rumah, harta, dan milik mereka yang lainnya di Makkah demi lari membawa agama mereka dari ancaman orang-orang musyrikin.
Sesungguhnya ada sebagian kaum Muhajirin yang tidak sanggup bekerja ketika mereka tiba di Madinah karena ekonomi Madinah ditopang oleh sektor pertanian. Sementara mereka tidak memiliki pengalaman di bidang pertanian mengingat masyarakat Makkah adalah masyarakat dagang.
Selain itu, di Madinah mereka juga tidak mempunyai tanah pertanian, dan juga tidak mempunyai modal. Seluruh harta mereka ditinggalkan di Makkah. Kendatipun kaum Anshar sudah berusaha membantu kaum Muhajirin, namun sebagian kaum Muhajirin tetap membutuhkan tempat tinggal.
Kaum Muhajirin terus berduyun-duyun berdatangan ke Madinah, terlebih sebelum peristiwa Pertempuran Khandaq di mana banyak di antara mereka yang menetap di Madinah.
Hal itu masih ditambah lagi dengan kedatangan beberapa delegasi rombongan dari berbagai penjuru wilayah ke kota pusat pemerintahan Islam tersebut.
Sebagian mereka ada yang tidak punya kenalan seorang pun dari penduduk Madinah sehingga orang-orang asing tersebut jelas membutuhkan tempat tinggal yang permanen atau yang hanya bersifat sementara selama mereka tinggal di sana.
Sudah barang tentu Nabi ﷺ telah memikirkan rencana mewujudkan tempat tinggal bagi orang-orang miskin yang bermukim dan para rombongan delegasi yang datang dari berbagai penjuru wilayah.
Akhirnya kesempatan tiba ketika kiblat harus dipindahkan dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Peristiwa itu terjadi pada 6 bulan sesudah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah. Pada saat itu dinding kiblat yang pertama masih berada di belakang Masjid Nabawi, lalu Nabi ﷺ menyuruh untuk memasang atap.
Selanjutnya, beliau menyebut tempat tersebut dengan nama Ash Shufah. Pada bagian-bagian sampingnya tidak ada pagar yang menutupinya. Menurut Ibnu Jubair, Shufah ialah komplek di Quba’ terakhir yang dihuni oleh ahli Shufah.
As-Samhudi menakwilkan bahwa ahli Shufahlah orang-orang yang membangun komplek tersebut sehingga kemudian terkenal dengan sebutan seperti itu. Tidak diketahui dengan jelas berapa luas komplek tersebut.
Tapi yang jelas kapasitasnya mampu menampung sejumlah besar orang, sampai-sampai Nabi ﷺ pernah menggunakan tempat tersebut untuk keperluan penyelenggaraan walimah yang dihadiri sebanyak tiga ratus orang, kendatipun sebagian tamu undangan yang datang ada yang duduk di kamar-kamar istri beliau yang tembus dengan bangunan masjid.
Yang pertama kali tinggal di komplek Ash-Shufah ialah orang-orang Muhajirin. Oleh karena itulah, ada yang memberi nama tempat tersebut dengan sebutan shufah Al-Muhajirin.
Tempat tersebut juga pernah ditempati oleh rombongan delegasi asing yang datang menemui Nabi ﷺ dengan tujuan ingin menyatakan masuk Islam dan taat kepada beliau.
Dahulu apabila ada orang yang datang ingin menemui Nabi ﷺ dan ia mendapatkan seorang pemandu di Madinah, maka ia akan diajak singgah di rumah pemandunya tersebut. Dan bagi yang tidak mendapatkan seorang pemandu, ia akan singgah bersama para penghuni komplek tersebut.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah pemimpin orang-orang yang tinggal di komplek As-Shuffah, baik yang menetap maupun yang hanya ingin sementara. Jika Nabi ﷺ ingin mengundang mereka, beliau cukup berpesan kepada Abu Hurairah karena dialah yang mengenal mereka berikut kedudukan mereka dalam ibadah dan perjuangan.[2]
Hukum Mengungsi di Masjid
Bila ada kaum Muslimin yang tertimpa musibah yang mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal seperti bencana, banjir, gempa dan kebakaran rumah atau yang lainnya, maka tidak mengapa mereka mengungsi untuk sementara waktu di masjid bila tidak mendapatkan tempat lain sama sekali.
Ini merujuk kepada praktek Nabi ﷺ di masa lalu dalam menampung para Muhajirin yang belum memiliki rumah saat awal hijrah ke Madinah, di Masjid Nabawi. Ini merupakan salah satu fungsi sosial masjid yang diakui dalam Islam. Wallahu a’lam.[3]
Namun demikian, para pengungsi yang berada di masjid harus tetap menjaga adab-adab masjid selama berada di sana. Karena masjid jelas berbeda dengan tempat lainnya. Masjid harus dijaga dari segala hal yang bisa menodai kesuciannya dan tidak layak dengan keagungannya.
Misalnya saja, tidak boleh menyetel musik, berteriak-teriak, perbuatan mudharat, bertengkar, kegiatan yang mengganggu kekhusyu’an ibadah, transaksi bisnis, mengeluarkan suara keras dan mengotori masjid.
Untuk itu takmir pengelola masjid perlu melakukan sosialisasi adab-adab masjid kepada para pengungsi untuk memastikan bahwa mereka mengetahui seluruh adab tersebut dan menjaganya dengan baik selama berada di masjid.
Demikian penjelasan singkat tentang hukum mengungsi di masjid. Semoga bermanfaat. Apabila ada kebenaran maka itu karena rahmat Allah semata. Dan bila ada kesalahan dan penyimpangan maka itu dari kami dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.
Referensi:
[1] Lihat: https://rmoljabar.id/
Pada tanggal 19 Januari 20 lalu, MUI Kota Bandung mengeluarkan Fatwa yang dinilai sebagian kalangan sebagai fatwa yang kontroversial.
Fatwa ini sebenarnya hendak menjelaskan tentang fungsi masjid sebagai tempat Ibadah dan agar dikembalikan fungsi tersebut seperti semula dan tidak ada niatan untuk mengusir warga yang tergusur rumahnya yang berlindung sementara di sana.
MUI Kota Bandung tidak melarang warga tersebut untuk mengungsi ke masjid. Namun hanya ingin ada kepastian jangka waktunya. Ini penjelasan dari Sekretaris Umum MUI Kota Bandung.[1] Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengupas peristiwa tersebut.
[2] Lihat : Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Dr. Akram Dhiya’ Al Umari, Darul Falah, Jakarta, hal. 264-266,
[3] Lihat: https://alimam.ws/ref/1583
Incoming search terms:
- Masjid buat tempat mengungsi (1)
Tinggalkan Balasan