Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau madzhab Sunni adalah madzhab mayoritas kaum Muslimin di dunia ini. Mereka mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah secara lahir dan batin, baik perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Tulisan sederhana ini hendak mengulas tentang pengertian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta akar sejarahnya dalam Islam.
Diharapkan tulisan ini bisa memberikan persepsi yang benar tentang Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meluruskan pandangan yang keliru mengenai pengertian dan sejarah awal kemunculannya.
Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan memadai tentang Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari istilah As-Sunnah dan Al-Jama’ah yang menjadi dua kata kunci utama yang perlu dipahami dengan benar.
Tanpa memiliki pemahaman yang benar terhadap dua istilah tersebut maka tidak akan didapatkan pemahaman yang benar tentang siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh kerenanya, di sini akan dibahas terlebih dahulu pengertian As-Sunnah dan Al-Jama’ah baik secara bahasa maupun istilah. Setelah itu akan didapatkan pengertian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pengertian As-Sunnah
Berikut pengertian As Sunnah Secara Bahasa dan Istilah:
– As-Sunnah secara bahasa
As-Sunnah, dalam bahasa Arab, bermakna ath-thariqah yang berarti cara atau jalan (hidup) baik terpuji maupun tercela. Kata tersebut berasal dari kata as-sunan yang berarti ath-thariq (jalan).
Di antara hadits yang menjelaskan makna ini adalah: “Siapa saja yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala amal tersebut, juga pahala orang yang mengamalkan sunnah tersebut sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.
Dan siapa saja melakukan sunnah yang buruk dalam Islam, maka dia memperoleh dosanya, juga dosa dari orang yang melakukan sunnah yang buruk tersebut sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.” [Hadits riwayat Muslim]
Ibnul Atsir berkata, ”Penyebutan kata As-Sunnah dan pecahan katanya sering disebut dalam hadits. Asal makna dari kata As-Sunnah adalah Ath-Thariqah (artinya cara, jalan, metode, gaya, mode, madzhab, sarana) dan As-Sirah ‘kelakuan, perilaku, perjalanan hidup’)[An-Nihayah: 2/409][i]
– As-Sunnah secara istilah
Adapun as-sunnah dalam istilah syara` menurut para Ahli Hadits adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ, baik berupa perkataan atau perbuatan atau taqrir (penetapan), atau sifat fisik atau akhlak, ataupun perilaku, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi nabi.
Dengan demikian, pengertian sunnah sinonim dengan hadits, menurut sebagian dari mereka. [As-Sunnah wa makanatuha fi tasyri’ Al-Islami, Dr. As-Siba’i, hal. 47]
Menurut para Ahli Ushul, ”Sunnah ialah apa saja yang dinukil dari Nabi ﷺ secara khusus, yang tidak ada nashnya dalam al-kitab al-‘aziz (al-Quran), tetapi ditetapkan oleh Nabi ﷺ dan merupakan penjelasan awal dari isi Al Quran.” [Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat: 4/47]
Adapun menurut Fuqaha (para ahli fikih), ”Sunnah adalah apa saja yang telah tetap berasal dari Nabi ﷺ yang bukan fardhu dan bukan wajib.” [Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal.31]
Setelah muncul perpecahan dan lahir berbagai bid`ah dan bercabang-cabang aliran hawa nafsu, lafazh as-sunnnah ketika disebutkan: “si Fulan Ahlus Sunnah atau Fulan mengikuti sunnah, maka sunnah berarti lawan dari bid`ah. Dikatakan si Fulan itu berada di atas sunnah apabila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan Nabi ﷺ. [Al-Muwafaqat: 4/4]
Dan juga orang yang beramal dengan didasarkan atas dalil syar`i, baik yang terdapat dalam Al-Quran atau dari Nabi ﷺ, atau merupakan ijtihad para sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti mengumpulkan mushhaf dan memerintahkan orang-orang membaca Al Qur`an dengan satu dialek bahasa Arab, serta pembentukan berbagai lembaga dalam pemerintahan (Dawawin). [As-Sunnah, hal.48]
Kemudian dalam tradisi kebanyakan Ulama Hadits muta’akhirin dan selain mereka, kata sunnah menjadi bermakna ungkapan bagi apa saja yang bersih dari syubhat dalam hal aqidah, khususnya dalam masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasu-rasul-Nya dan hari akhir. Demikian pula dalam masalah takdir dan keutamaan para sahabat.
Para Ulama Hadits tersebut menyusun berbagai buku dalam disiplin ilmu ini yang mereka sebut dengan kutubus sunnah ‘Kitab-kitab Sunnah’. Mereka mengkhususkan ilmu ini dengan nama Sunnah, karena bahayanya yang besar, dan orang yang menyelisihi ilmu ini berada di jurang kebinasaan. [Ibnu Rajab]
Jadi, meskipun Istilah sunnah telah masyhur menurut Ulama Hadits muta`akhirin lebih dikhususkan pada aspek aqidah, karena agungnya aspek akidah, dan bahayanya penyelewengan di dalamnya.
Sesungguhnya lafazh ini jika disebut secara lepas menunjukkan kepada pengertian cara atau jalan hidup Nabi ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, baik secara ilmu, amal, akhlaq, perilaku, adab hingga mencakup berbagai segi kehidupan lainnya.
Ibnu Rajab berkata, ” Dari Sufyan ats-Tsauri, dia mengatakan, ”Perlakukanlah Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah orang-orang asing.” Yang dimaksud dengan sunnah oleh Imam-imam tersebut ialah cara atau jalan hidup Nabi ﷺ dan para sahabatnya, yang bersih dari syubhat dan syahwat.
Karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Ahli Sunnah ialah orang yang dikenal hanya memakan makanan yang halal.” Hal ini karena memakan makanan yang halal termasuk ciri Sunnah paling besar yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.” [Ibnu Rajab][ii]
Pengertian Al-Jama’ah
Adapun pengertian Al Jama’ah secara bahasa dan istilah sebagai berikut:
– Al-Jama’ah secara bahasa
Kata Al-Jama’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari kata berpecah belah. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan, disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu al-Jama’ah.
Dalam riwayat lain ‘Maa ana ‘alaihi wa ashhaabii (Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya). [Musnad Ahmad IV/102, Abu Daud 4597, Al-Hakim 1/128, Ad-Darimi 2521, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah 204][iii]
– Al-Jama’ah secara istilah
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi dari Jama’ah. Secara global, pendapat mereka dikelompokkan menjadi 5 pendapat, yaitu:
- Yang dimaksud dengan Jama’ah adalah generasi sahabat.
Dalam hadits-hadits tentang Jama’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah “Maa ana ‘alaihi wa ashhabii” yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.
Ini merupakan pendapat Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan artian ini, setiap orang yang beramal berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai pemahaman generasi sahabat bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
- Yang dimaksud dengan Jama’ah adalah para ulama Mujtahidin dari kalangan ulama hadits, ulama fikih dan ulama-ulama lain.
Yang berpendapat demikian adalah Imam Abdullah bin Al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Imam Tirmidzi, para ulama Ushul Fikih dan sekelompok ulama Salaf.
- Ijma’, yaitu kesepakatan umat Islam dalam suatu masalah tertentu.
Bila seluruh umat Islam telah mengadakan Ijma’ maka wajib bagi mereka untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak termasuk sebagai Ahlus Sunnah.
Misalnya umat Islam telah sepakat tentang wajibnya shalat lima waktu. Orang yang berpendapat bahwa shalat lima waktu itu tidak wajib maka dia tidak termasuk Ahlus Sunnah.
Banyak ulama yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua, karena pada dasarnya yang berijma’ itu bukan umat Islam namun para ulama Mujtahidin.
- Kelompok mayoritas umat Islam (Sawadul A’zham).
Artinya, jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang menyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus Sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Mas’ud Al-Anshari, ‘Uqbah bin Amir bin Tsa’labah Al-Anshari dan Abdullah bin Mas’ud.
- Makna Jama’ah adalah pemerintahan negara Islam / Khilafah Islamiyah dengan seorang Imam / khalifah.
Siapa taat pada Imam berarti mengikuti Jama’ah dan siapa yang membangkang / memberontak berarti bukan ahlus sunnah / jama’ah.
Orang yang mati dalam keadaan membangkang pada imam yang sah, maka ia mati seperti orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang berpendapat seperti ini adalah Ath-Thabari, Ibnul ‘Arabi dan Al-Mubarakfuri. [Fathul Bari: XIII/37, Umdatul Qari: XXIV/195, Al-I’thisham: II/260-265]
Dari kelima pendapat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa makna Jama’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok:
- Aspek Ilmiyah
Yaitu bersepakat atas satu akidah, satu manhaj yang benar yaitu Al-Quran dan As-Sunnah serta memahaminya sebagaimana pemahaman generasi sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama mujtahidin sesudahnya yang terpercaya, terhadap kedua sumber Islam ini (yaitu Al-Quran dan Sunnah).
Pendapat ini merangkum pendapat nomor 1,2,3 dan 4. Dalam hal ini, Jama’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun kita sendirian dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas manusia di muka bumi ini.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski engkau sendirian.” [Manhajul Istidlal ‘ala Masail I’tiqad ‘inda ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 36-39. Syarh Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I/108]
Asy-Syathibi berkata, ”Sudah jelas bahwa Jama’ah dengan makna ini tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut. Tapi yang disyaratkan adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran sekalipun diselisihi oleh mayoritas umat.” [Al-I’thisham I/449]
- Aspek politik
Berjama’ah artinya berkumpul dan hidup di bawah sebuah negara Islam, di bawah kepemimpinan seorang Imam/Khalifah yang sah secara syar’i. Ini merupakan pendapat kelima dalam makna Jama’ah seperti yang kita terangkan di atas.
Selain para ulama Salaf yang telah kami sebutkan di atas, para ulama kontemporer juga menyebutkan hal ini. Dr. Ridha Na’san Al-Mu’thi dalam tahqiq dan dirasahnya atas kitab Al-Ibanah ‘an Syari’ati Al-Firqah An-Najiyah karangan Ibnu Bathah mengatakan:
“Bab ini menguatkan bahwa berjama’ah itu wajib dan keluar dari Jama’ah itu tidak boleh, baik jama’ah dalam arti berkumpulnya umat Islam di bawah kepemimpinan seorang Imam maupun berkumpulnya umat Islam di atas satu akidah.”[iv]
Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Dari pembahasan tentang pengertian as-sunnah dan al-jamaa’ah di atas bisa disimpulkan bahwa pengertian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan cara atau jalan hidup Nabi ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, baik secara ilmu, amal, akhlaq, perilaku, adab hingga mencakup berbagai segi kehidupan lainnya.
Mereka bersatu pada kepemimpinan seorang Imam berdasarkan tuntutan syariat. Mereka teguh di atas sikap ittiba’ (mengikuti sunnah) dan menjauhi ibtida’ (berbuat bid’ah).[v]
Mereka berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Mereka bersatu di atas hal itu. Mereka itu adalah para sahabat, Tabi’in, para imam petunjuk yang mengikuti para sahabat dan menempuh jalan mereka baik dalam i’tiqad, perkataan, dan perbuatan hingga hari pembalasan.
Mereka istiqamah di atas ittiba’ (mengikuti sunnah) dan menjauhi ibtida’ (berbuat bid’ah) di mana pun dan kapan pun. Mereka terus menerus ada dan mendapat pertolongan dari Allah hingga hari kiamat.[vi]
Sejarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf mengatakan, “Sejarah sebutan lafazh Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini kembali kepada awal Islam, pada masa nubuwwah dan generas-generasi yang mendapat keutamaan.
Imam Al-Lalikai telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
”Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram..” [Surat Ali Imran: 106]
فأما الذين ابيضت وجوههم: فأهل السنة والجماعة وأولوا العلم، وأما الذين اسودت وجوههم: فأهل البدع والضلالة”
“Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri maka mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan orang-orang yang diberi ilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram mereka adalah Ahlul bid’ah dan orang-orang sesat.” [Syarh Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Al-Lalikai, 1/72]
Setelah itu penyebutan dan penggunaan dari lafazh Ahlus Sunnah wal Jamaah ini belanjut dilakukan oleh banyak imam salaf rahmatullahi ‘alahim.
Saya sebutkan sebagian dari mereka sesuai urutan waktunya:
- Ayyub As-Sukhtiyani ( 68 H- 131 H)
Al-Lalikai telah meriwayatkan dari Ayyub As-Sukhtiyani bahwa dia berkata, ”Aku diberi kabar dengan kematian seorang pria dari Ahlus Sunnah. Seakan-akan aku telah kehilangan salah satu anggota badanku.” [Syarh Ushul Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 1/ 60-61]
- Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H)
Sufyan Ats-Tsauri berkata, ”Hendaklah kalian perlakukan Ahlus Sunnah dengan baik. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang asing (ghuroba’).” Dia juga berkata, ”Betapa sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Syarh Ushul Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 1/ 64]
- Al-Fudhail bin ‘Iyadh (wafat 187 H)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, ”Para pengikut murjiah berkata, ”Iman itu adalah perkataan tanpa amalan.” Sementara orang-orang Jahmiyah berkata, ”Iman itu adalah ma’rifah dengan tanpa perkataan maupun amalan.” Sedangkan Ahlus berkata, ”Iman adalah ma’rifah, dan perkataan serta amalan.” [Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tahdzibul Atsar, dengan tahqiq oleh Dr. Nashir Sa’ad Ar-Rasyid dan Abdul Qayyum Abdu Rabbin Nabi, 1402 H. juz 2 hal. 182]
- Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam (157 H – 224 H)
Abu ‘Ubaid Al-Qasim berkata dalam mukadimah kitabnya Al-Iman, ”…Sesungguhnya kamu bertanya kepadaku tentang iman dan berbeda-bedanya umat Islam dalam menyempurnakan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan kamu menyebutkan bahwa sesungguhnya kamu suka untuk mengetahui pendapat Ahlus Sunnah mengenai hal tersebut…” [Al-Iman, hal. 53 di dalam kitab Min Kunuzis Sunnah-rasail Arba’- dengan tahqiq Syaikh Muhamad Nashiruddin Al-Albani]
- Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Imam Ahmad berkata dalam mukadimah kitabnya As-Sunnah, “…inilah madzhab Ahli ilmu dan Ash-habul Atsar (para pengikut atsar) dan Ahlus Sunnah yang berpegang teguh dengan talinya, mereka dikenal dengan madzhab tersebut, mereka diteladani dengannya dari sejak para sahabat Nabi ﷺ hingga pada masa kita sekarang ini…” [As-Sunnah, hal. 33-34]
- Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H)
Pendapat yang benar tentang orang-orang mukmin akan melihat Rabbnya ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat, pendapat ini adalah agama kami yang dengannya kami mentaati Allah dan kami mendapati Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di atasnya adalah bahwa para penghuni Surga akan melihat Allah berdasarkan berita-berita yang shahih dari Rasulullah ﷺ.” [Sharihus Sunnah, hal Ibnu Jarir Ath-Thabari hal. 20]
- Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi (239- 321 H)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi berkata dalam mukadimah Aqidah Thahawiyah karyanya yang terkenal, ” …inilah penyampaian penjelasan tentang keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah..” (Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 5, dengan Ta’liq oleh Ibnu Mani’, Penerbit: Maktabah Darul Mathbu’at Al-Haditsah, Jeddah.)
Dengan nukilan-nukilan ini jelas bahwa lafazh Ahlus Sunnah dikenal di kalangan Salaf, tersebar luas di antara mereka. Mereka menyebutnya sebagai lawan dari “Ahlul Bid’ah”.
Mereka menulis berbagai karangan untuk menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah dan mereka membedakan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah sebagaimana dilakukan oleh Imam Ahmad dan Imam Ath-Thahawi.
Dengan demikian, nukilan-nukilan ini menjadi bantahan bagi orang yang mengklaim bahwa sebutan “Ahlus Sunnah” itu pada awalnya adalah sebutan bagi para pengikut Asy’ariah.[vii]
Manhaj Ahlussunnah Dalam Menetapkan Masalah Aqidah
Manhaj-manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki ciri khas dalam menetapkan masalah-masalah agama baik yang pokok maupun cabangnya dengan kekhususan-kekhususan yang menjadikannya jauh lebih sesuai dengan kebenaran dan menepati kebenaran.
Kami sebutkan di antaranya adalah sebagai berikut:[viii]
1. Kesatuan sumber
Yaitu bahwa Salaf tidak menerima perkara agama mereka kecuali dari lentera kenabian bukan dari akal, perasaan ataupun kasyaf. Namun bila hal-hal tersebut benar maka merupakan penguat dari hujah al-Kitab dan As-Sunnah.
2. Manhaj tauqifi
Yaitu manhaj yang tegak di atas kepasrahan mutlak terhadap nash-nash al-Kitab dan As-Sunah tanpa membantah sesuatu pun darinya, tidak pula mempertentangkannya dengan sesuatu, baik itu akal, perasaan, mimpi dan lain-lain. Mereka berhenti dimana nash tersebut menghentikan mereka.
Mereka tidak meninggalkannya menuju aktifitas akal, atau qiyas atau perasaan. Mereka berpegang teguh dengan firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
Maksudnya, orang-orang Mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya.
3. Menjauhi perdebatan dan pertengkaran dalam masalah agama
Imam Malik bin Anas berkata, ”Aku tidak menyukai pembicaraan dalam hal agama. Panduduk negeri kita senantiasa tidak menyukainya dan dilarang darinya, misalnya adalah pembicaraan tentang pendapat Jahmiyah atau Qadariyah serta yang sejenis dengan hal itu. Aku tidak suka pembicaraan kecuali yang diikuti dengan perbuatan.
Adapun pembicaraan tentang agama Allah dan tentang Allah ‘Azza wa Jalla, maka sikap diam lebih aku sukai karena aku melihat para penduduk negeri kita dilarang dari berbicara tentang agama Allah kecuali dalam hal yang diikuti (ditindaklanjuti) dengan amalan. (Jami’ Bayanil Ilmi: 2/116)
Abu Umar Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, ”Apa yang dikatakan oleh Malik rahimahullah merupakan pendapat dari kelompok ulama dahulu dan sekarang ini dari kalangan ahli hadits dan fatwa.
Sedangkan Ahlul bid’ah menyelisihi hal itu, mu’tazilah dan seluruh kelompok sesat lainnya. adapun Jama’ah maka pendapatnya sebagaimana pendapat Malik.” [Jami’u Bayanil ‘Ilmi: 2/116]
Hal itu tentunya dalam hal yang tidak ada kepentingan yang sangat mendesak sama sekali, contoh kepentingan yang sangat mendesak (darurat) adalah membantah kebatilan atau khawatir kesesatan akan meraja lela.
Jadi yang wajib adalah menjelaskan kebenaran dan menolak kebatilan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullah. [ Jami’u Bayanil ‘Ilmi: 2/116 dan lihat juga Asy-Syari’ah, karya Al-Ajuri hal. 62]
4. Salaf bersepakat dalam masalah akidah
Buah dari benarnya manhaj dan benarnya persoalan-persoalannya adalah Ahlus Sunnah itu telah bersepakat di atas perkara-perkara i’tiqad (keyakinan) meskipun masa hidup mereka berbeda-beda dan wilayah mereka juga berbeda-beda.
Contoh Kaidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Pembahasan sebelum ini adalah tentang Manhaj Ahlus Sunnah dalam menetapkan persoalan akidah. Namun, kita juga sering mendegar bahwa Ahlus Sunnah juga memiliki sejumlah kaidah dalam persoalan tertentu.
Misalnya saja, kaidah istidlal dalam persoalan aqidah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ada juga kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam membantah orang-orang yang menyelisihinya dan menghilangkan Syubhat mereka.[ix]
Kaidah Istidlal pada persoalan akidah (i’tiqad) menurut ahlus sunnah wal Jamaah itu ada 14 kaidah berdasarkan penjelasan Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqaf.
Di antara contohnya adalah beriman, tunduk dan ta’zhim atau mengagungkan nash-nash Al-Quran dan As-sunnah. Selain itu adalah memadukan seluruh nash dalam bab yang sama dan menerapkannya setelah dipastikan keshahihannya.
Contoh lain dari kaidah dalam masalah ini adalah bersikap diam terhadap persoalan yang Allah dan rasul-Nya mendiamkanya dan para salaf menahan diri darinya. Ini sekedar contoh kaidah-kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menetapkan masalah akidah.[x]
Tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah
Tokoh Aswaja adalah para sahabat, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan juga orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka serta mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Di antara tokoh-tokoh sahabat adalah para khulafaur Rasyidin, 10 orang yang diberi kabar gembira dengan surga, para peserta perang Badar, para peserta perang Uhud, para peserta Baiatur ridhwan.
Sedangkan di kalangan Tabi’in di antaranya adalah Sa’id bin Al-Musayyib, Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz, Atha’, Thawus, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirrin.
Dari kalangan Tabiut Tabi’in adalah Malik bin Anas, Al-Auza’i, Ats- Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Fudhail bin ‘Iyadh. Kemudian para muridnya seperti Yahya bin Sa’id Al-Qathan, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dst.
Kemudian murid-murid mereka di antaranya adalah Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, kemudian orang-orang yang berjalan di atas mnahaj mereka seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Khuazaimah, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Ash-Shalah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Rajab Al-Hanbali.
Kemudian siapa saja yang menyusul dan mengikuti mereka dalam berpegang teguh kepada al -kitab dan as-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para sahabat sampai datangnya kiamat dan orang terakhir dari mereka memerangi Dajjal.
Mengapa Memilih Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
Pertanyaan ini menarik. Mengapa kita harus memilih manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bukan yang lainnya?
Jawabannya sangat jelas, yaitu manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah manhaj golongan yang selamat (Firqah An-Najiyah) dan kelompok yang senantiasa mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sering disebut dengan Ath-Thaifah Al-Manshurah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid berkata, ”Wajib atas setiap Muslim untuk mengikuti kebenaran dan berjalan di jalur Thaifah Manshurah Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut As-Salaf Ash-Shalih, mencintai mereka di mana pun mereka berada, di negerinya atau di luar negerinya, saling menolong dengan mereka dalam kebaikan dan takwa dan menolong agama Allah bersama-sama dengan mereka.”[xi]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Jalan mereka adalah agama Islam yang Allah mengutus Muhammad ﷺ dengan agama tersebut. Namun, ketika Nabi ﷺ mengabarkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu kelompok saja yaitu Al-Jamaah, dan dalam sebuah hadits dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Mereka adalah orang-orang yang berada di atas semisal dengan apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini.” maka orang-orang yang berpegang teguh dengan Islam yang murni dan suci dari noda, mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di dalamnya ada orang-orang yang Shiddiq, Syuhada’ dan Shalihin. Di antara mereka ada para pemimpin petunjuk dan penerang kegelapan, para pemilik kebaikan yang terus mengalir dan para pemilik keutamaan yang senantiasa disebut. Di dalamnya terdapat para imam yang kaum Muslimin telah bersepakat atas petunjuk mereka dan pengetahuan mereka.
Mereka itulah Thaifah Manshurah yang Nabi ﷺ bersabda tentang mereka, ”Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku di atas al-haq, mereka tetap menang, teguh dan terlihat jelas di atas al haq. Orang-orang yang menelantarkan mereka tidak akan memberi madharat kepada mereka hingga terjadinya kiamat.”
Kita memohon kepada Allah Yang Mahaagung agar menjadikan kita bagian dari mereka dan agar Allah tidak menyelewengkan hati kita setelah Allah memberi hidayah kepada kita dan agar Allah memberi rahmat kepada kita dari sisi-Nya. Sesungguhnya Allah adalah al-Wahhab (Maha Pemberi rahmat dan karunia). Wallahu a’lam. [Majmu’ Al-Fatawa: 3/129][xii]
Demikian pembahasan tentang pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta sejarah kemunculannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Apabila ada kebenaran dalam tulisan ini makaitu dari rahmat Allah semata. Dan bila ada kesalahan dan kekeliruan maka itu dari kami dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya. Semoga Allah Ta’ala berkenan mengampuni seluruh dosa dan kesalahan kami dan kaum Muslimin.
[i] Ahlus Sunnah wal Jamaah Ma’alim Inthilaqatil Kubra, Syaikh Abdul Hadi Al-Mishri, hal.43
[ii] Ibid, hal. 43-45.
[iii] Dirasatul Firaq, Mengenal Madzhab Teologi Islam Klasik dan Aliran Sesat di Indonesia, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur, cetakan ke 1, November 2010, hal. 20.
[iv] Ibid, hal. 20-22.
[v] Ahlus Sunnah wal Jamaah Ma’alim Inthilaqatil Kubra, Syaikh Abdul Hadi Al-Mishri, hal.43 dan hal. 48.
[vi] Mabahits fi ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Mauqiful Harakaat Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah minha, Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, Darul Wathan, Riyadh, cetakan pertama, Ramadhan, 1412 H. Hal. 10.
[vii] https://dorar.net/firq/411/
[viii] https://dorar.net/aqadia
[ix] https://dorar.net/aqadia/
[x] https://dorar.net/aqadia/118/
[xi] https://islamqa.info/ar/answers/206/
[xii] Limadza ikhtartu al-manhaj as-salafi, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Daru Ahlil Hadits, hal. 66.
Tinggalkan Balasan