Tulisan berikut ini akan membahas secara ringkas tentang hukum makan di dalam masjid. Penjelasan ini berdasarkan keterangan dari Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah, salah seorang anggota Haiah Kibaril Ulama (Dewan Ulama Besar ) Kerajaan Saudi Arabia.
Daftar Isi
- Hukum Makan di Masjid Baik I’tikaf / Tidak
- Dalil-dalil yang Membolehkan Makan di Masjid
- 1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Al Harits bin Jaza’ Az Zubaidi.
- 2. Masih Hadits dari Abdullah bin Al Harits.
- 3. Keberadaan Ahlus Sufah di Masjid Nabawi
- 4. Tsumamah bin Utsal pemimpin Bani Hanifah ditahan dan diikat di masjid.
- 5. Sa’ad bin Mua’dz radhiyallahu ‘anhu dirawat di tenda di masjid
- Aturan Makan di Masjid
Hukum Makan di Masjid Baik I’tikaf / Tidak
Makan dan minum di dalam masjid -dengan berbagai jenis masjid– hukumnya diperbolehkan. Pengecualian dalam hal ini adalah makan makanan yang beraroma tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, bawang bakung, dan lobak.
Karena orang yang memakan sayuran semacam ini dilarang oleh syariat Islam untuk mendatangi masjid.
Orang yang makan di masjid itu boleh jadi seorang yang sedang beri’tikaf dan boleh jadi bukan orang yang demikian. Jika dia adalah seorang yang sedang beri’tikaf, maka dia boleh makan dan minum di dalam masjid dan tidak diperbolehkan baginya keluar untuk tujuan makan, karena keluarnya itu dapat membatalkan i’tikaf.
Imam Malik rahimahullah berkata,’Aku tidak menyukai jika orang yang sedang i’tikaf keluar dari masjid lalu dia makan di depan pintu masjid. Tetapi hendaklah dia makan di dalam masjid, karena hal itu diperkenankan baginya.”
Imam Malik melanjutkan,’Orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh makan maupun minum kecuali di dalam masjid. Orang ini pun tidak boleh keluar dari dalam masjid kecuali ketika hendak memenuhi hajat atau kebutuhan manusiawi, yaitu buang air besar atau buang air kecil.” [Al Mudawwanatul Kubra: I/300]
Adapun selain orang yang beri’tikaf, maka sama saja hukumnya. Dia diperbolehkan makan di dalam masjid. Tidak ada pula alasan mengkhususkan diperbolehkannya makan di dalam masjid hanya kepada orang asing atau musafir, tanpa menyertakan yang lainnya.
Karena dalil-dalil yang membolehkan hal ini bersifat umum.
Dalil-dalil yang Membolehkan Makan di Masjid
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Al Harits bin Jaza’ Az Zubaidi.
Dia bertutur,’Kami pernah makan daging bakar bersama Rasulullah ﷺ di dalam masjid lalu iqamat berkumandang. Maka kami memasukkan tangan-tangan kami ke dalam kerikil (yakni untuk membersihkannya), kemudian kami shalat dan kami tidak berwudhu (terlebih dahulu).”
[HR Ahmad: XXIX/243; At Tirmidzi: 166 dalam Asy Syamaail dan Ibnu Majah: 3311].
2. Masih Hadits dari Abdullah bin Al Harits.
Dia berkata,”Kami pernah memakan roti dan daging di dalam masjid pada masa Rasulullah ﷺ.” [HR Ibnu Majah: 3300 dan Ibnu Hibban: 1657]
3. Keberadaan Ahlus Sufah di Masjid Nabawi
Keterangan bahwa Ahlush Shufah (para shahabat yang tidak memiliki tempat tinggal) menetap di dalam masjid. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan diperbolehkannya makan di dalam masjid.
4. Tsumamah bin Utsal pemimpin Bani Hanifah ditahan dan diikat di masjid.
Demikian pula dengan kisah pengikatan Tsumamah bin Utsal di dalam masjid. [HR Al Bukhari: 4375 dan Muslim: 1764]. Hadits ini adalah penggalan dari sebuah hadits yang panjang.
5. Sa’ad bin Mua’dz radhiyallahu ‘anhu dirawat di tenda di masjid
Begitu juga kisah Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi ﷺ mendirikan kemah untuknya di dalam masjid, yakni agar beliau bisa menjenguknya dari dekat setelah dia terluka dalam Perang Khandaq. [Lihat Shahih Al Bukhari: 1/556]
Semua riwayat itu menegaskan diperbolehkannya makan di dalam masjid. Maka bagaimanakah jika hukum asal ini didukung oleh dalil-dali yang kuat? [Lihat Ahkamul Masaajid: III/158]
Aturan Makan di Masjid
Terkait dengan makan di masjid ini, sebaiknya orang yang makan di dalam wilayahnya memasang meja makan atau menyiapkan alas yang semacamnya.
Ini diperlukan agar sisa-sisa makanan hanya jatuh di atasnya dan supaya sisa-sisa makanan itu tidak mengotori masjid, serta supaya tidak membuat makanan berserakan yang dapat membuatnya dikerubungi serangga. [I’lamus Sajid, halaman: 329] Wallahu a’lam.[1]
Bisa juga pengurus atau takmir masjid mengarahkan agar orang yang makan di masjid, berada di bagian belakang atau di teras. Sehingga apabila tumpah tidak mengotori karpet masjid dan memudahkan membersihkannya.
Demikian tadi penjelasan singkat namun padat hujah mengenai hukum makan di dalam masjid. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin.
[1] Lihat: Fikih Seputar Masjid karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan, Pustaka Imam Syafi’i, Desember 2018, cetakan ketiga. Halaman: 338-340. Dengan sedikit perubahan format penulisan.
Tinggalkan Balasan