Hilful Fudhul merupakan pakta perjanjian untuk melindungi kaum tertindas yang terjadi sebelum Nabi Muhammad ﷺ diangkat sebagai nabi.
Namun demikian beliau saat itu ikut serta di dalamnya dan setelah Islam datang, Rasulullah ﷺ tegas menyatakan dukungannya. Bahkan beliau siap menyambut ajakan itu bila diajak di masa Islam.
Sikap Rasulullah ﷺ ini menunjukkan bahwa kandungan dan tunjuan dari Hilful Fudhul itu sejalan dengan prinsip Islam.
Tulisan ini hendak mengulas secara jelas namun ringkas tentang arti Hilful Fudhul, latar belakangnya, sejarah singkatnya, isinya dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Arti Hilful Fudhul Adalah
Hilful fudhul artinya perjanjian kesepakatan dan ikrar yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan (ahlul Muruah) dan pengaruh di kalangan suku Quraisy di Makkah Al-Mukarramah untuk membela dan melindungi orang-orang yang dizhalimi serta mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas oleh orang zhalim.
Hilful Fudhul ini terjadi 4 bulan setelah Perang Fijar. Hilful fudhul terjadi sebelum kenabian. Nabi ﷺ ikut hadir dalam pertemuan tersebut meskipun masih muda belia.
Hadits Tentang Hilful Fudhul
Hadits yang menunjukkan keterlibatan Rasulullah ﷺ dalam Hilful Fudhul sekaligus menunjukkan dukungannya terhadap isi dari ikrar tersebut adalah sebagai berikut:
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَهِدْتُ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ مَعَ عُمُومَتِي وَأَنَا غُلَامٌ فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي أَنْكُثُهُ
Sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda, “Aku pernah menyaksikan Hilfal Muthayyabin bersama para pamanku sewaktu aku masih kecil. Aku tidak suka untuk membatalkannya meskipun akan mendapatkan onta merah.”
Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan :
مَا شَهِدْتُ حِلْفًا لَقُرَيْش إِلاَّ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي كُنْتُ نَقَضْتُهُ
”Aku tidak pernah menyaksikan perjanjian kesepakatan orang Quraisy, kecuali Hilfal Muthayyabin. Aku tidak suka untuk membatalkan perjanjian kesepakatan tersebut meskipun aku akan mendapatkan onta merah.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ
“Sungguh aku telah menyaksikan sebuah perjanjian kesepakatan di rumah Abdullah bin Jud’an. Aku lebih menyukai perjanjian kesepakatan tersebut daripada memiliki unta merah. Seandainya aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pasti akan menyambutnya.” [Hadits riwayat Al-Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900]
Onta merah adalah harta paling berharga yang dimiliki oleh Bangsa Arab kala itu sehingga menjadi permisalan bagi sesuatu yang sangat berharga.[i]
Latar Belakang Hilful Fudhul
Penyebab terjadinya perjanjian Fudhul (Hilful Fudhul) adalah karena seorang dari Kabilah Zabid di Yaman telah datang ke Mekah bersama barang dagangannya. Ia menjualnya kepada seorang bernama AI-‘Ash bin Wail As-Sahmi, namun dia tidak bersedia membayarnya.
Kemudian pedagang tersebut melaporkannya kepada tokoh-tokoh Quraisy, tetapi tidak ada yang mau menolongnya. Lalu dia naik ke gunung Abi Qubais, sementara tokoh Quraisy masih berkumpul di tempat mereka biasa berkumpul.
Dia berteriak supaya haknya yang terzhalimi dikembalikan. Akhirnya bangkitlah Az-Zubair bin Abdul Muththalib, dia berkata, ”Orang seperti itu tidak mungkin dibiarkan terzhalimi.” Kemudian berkumpullah Banu Hasyim, Zuhrah, Banu Taim bin Murrah, di rumah Abdullah bin Jud’an. Mereka bersumpah dan berjanji atas nama Allah unfuk bersatu padu bersama orang yang terzhalimi itu hingga haknya dikembalikan.[ii]
Sejarah Singkat Hilful Fudhul
Setelah tokoh-tokoh dari kabilah-kabilah Quraisy di atas telah saling mengambil perjanjian dan bersumpah dengan nama Allah untuk bersatu melawan orang yang zhalim dan membela orang-orang yang dizhalimi sampai hak-hak orang-orang yang dirampas itu dikembalikan kepada pemiliknya, mereka berjalan bersama-sama menuju rumah Al-‘Ash bin Wail As-Sahmi.
Sesampainya di sana mereka mengambil kembali barang dagangan orang Zabid tersebut dari tangan Al-‘Ash dan mengembalikannya kepada pedagang tersebut. Setelah kejadian tersebut, mereka mengesahkan perjanjian kesepakatan ini yang dinamakan dengan Hilful Fudhul karena orang-orang yang melaksanakannya pada nama-nama mereka itu ada al-Fadhl, seperti Al-Fadhl bin Harits, Al-Fadhl bin Wada’ah, dan Al-Fadhl bin Fadhalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad.[iii]
Tujuan Hilful Fudhul
Tujuan dari Hilful Fudhul adalah menegakkan keadilan, menolak kezhaliman dan menolong orang-orang yang dizhalimi serta saling menolong dalam kebaikan. Hal inilah yang menjadikan Rasulullah menegaskan urgensinya dan memperlihatkan dukungannya untuk terlibat di dalamnya dengan sabdanya,
قَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ الله بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنّ لِي بِهِ حُمْرَ النّعَمِ وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الْإِسْلَامِ لَأَجَبْتُ
“Sungguh aku telah menyaksikan sebuah perjanjian kesepakatan di rumah Abdullah bin Jud’an. Aku lebih menyukai perjanjian kesepakatan tersebut daripada memiliki unta merah. Seandainya aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pasti akan menyambutnya.” [Sirah Ibnu Hisyam: 1/133][iv]
Pelajaran Hikmah dari Hilful Fudhul
Ada sejumlah hikmah penting dari Hilful Fudhul ini. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid memberikan penjelasan menarik tentang hikmah dan pelajaran dari Hilful Fudhul ini sebagai berikut:
1. Sesungguhnya seorang muslim mesti adil walaupun terhadap musuhnya.
Muhammad ﷺ datang untuk menghadapi jahiliyah yang ada di kalangan Bangsa Arab, tetapi dia tidak memusuhinya secara keseluruhan dan rinci, yang pada akhirnya bisa mengingkari semua bentuk kebaikan dari mereka.
Dia tetap mengakui kebenaran dari mereka walaupun mereka itu orang yang memusuhinya, dan bahkan mereka telah mengumumkan perang.
Dia tetap memuji perjanjian itu untuk memberikan pelajaran kepada kita bagaimana kita harus bersikap adil dan menerima kebenaran dari orang lain, dan janganlah permusuhan menyebabkan kita berpura-pura tidak mengetahui kebaikan orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Saya diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” [Ditakhrij oleh Al-Baihaqi dalam kitab sunan Kubra, 10/19, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ As-Shaghir,2/285,hadits nomor 2345]
Dengan demikian saya menasihati setiap muslim untuk bersikap adil terhadap musuhnya, Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,..[An-Nisa’: 135]
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. [Al-Maidah: 8]
أنَّ يَهوديًّا أتى النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ: إنَّكم تندِّدونَ، وإنَّكم تُشرِكونَ تقولونَ: ما شاءَ اللَّهُ وشئتَ، وتقولونَ: والكعبةِ، فأمرَهُمُ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا أرادوا أن يحلِفوا أن يقولوا: وربِّ الكعبةِ، ويقولونَ: ما شاءَ اللَّهُ ثمَّ شئتَ
Dari Qutailah binti Shaifiy Al-Juhani, bahwa seorang Yahudi mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata,”Sesungguhnya kalian telah menjadikan ilah selain Allah (menjadikan tandingan bagi Allah). dan sesungguhnya kalian telah melakukan kemusyrikan. Kalian berkata,”Atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Dan kalian juga berkata,”Demi Ka’bah.”
Maka Nabi ﷺ memerintahkan mereka apabila bersumpah agar mengucapkan ‘Demi Rabb Ka’bah’ dan mengucapkan “Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.” [Hadits riwayat An-Nasa’i , dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih An-Nasa;i no. 3782]
Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah tatkala menjelaskan hadits ini berkata,”Dalam hadits ini, ada petunjuk bahwa kita mesti menerima kebenaran walaupun berasal dari musuh agama.” [Sulaiman bin Abdul Wahhab, Taisir Al-Aziz Al-Hamid, hal.600]
Keadilan adalah tuntutan yang penting yaitu banyak manusia lalai dalam bermuamalah dengan musuhnya. Mereka lalai atau pura-pura tidak tahu tentang kelebihan pihak lain karena adanya perbedaan di antara mereka.
Masalah ini telah disinggung oleh Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah tatkala ditanya dengan pertanyaan yang berbunyi, ” Apa pendapat syaikh tentang orang yang ingin mengkritik orang lain, tetapi tidak pernah menyebut kebaikan orang itu. Yang disebut hanyalah kejelekannya?”
Dia menjawab, ”Itu adalah bagian dari kejahatan karena Allah berfirman dalam kitab-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Maidah: 8]
Allah melarang kita karena kebencian terhadap suatu kaum kemudian kita tidak berlaku adil, tetapi yang diperintahkan adalah berkata yang adil. Allah telah menetapkan kebenaran yang dikatakan oleh orang-orang musyrik, dan kebenaran yang berasal dari Yahudi, Allah berfirman:
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata,”Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” [Al-A’raf: 28]
Maka jawabannya:
قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ ۖ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah,”Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji”. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?.” [Al-A’raf: 28]
Maka Allah membatalkan ucapan mereka: (وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا) ‘dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’, karena itu adalah batil. Sedangkan Allah mendiamkan ucapan mereka: (وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا),” Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu,” karena ia adalah haq.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim yang ingin mengkritik orang lain agar membicarakan kepribadiannya secara keseluruhan, kebaikan dan kejelekannya. Apabila dari orang yang dikenal banyak memberikan nasihat dan manfaat bagi yang lain, maka kesalahannya semestinya dimaafkan saja.
Contohnya, ulama seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, dan lainnya yang mempunyai kesalahan dalam masalah akidah, tetapi kita mengetahui dengan ilmu yang pasti bahwa itu kesalahan yang muncul dari ijtihadnya.
Seperti takwil firman Allah, ”Dan Rabbmu datang.” Dia berkata, “Maksudnya Amru Rabbika (dan datanglah keputusan Rabmu),”
Di mana letak kesalahannya? Ada pada takwilnya yang mengatakan bahwa yang datang adalah keputusan Allah, sementara Allah mengatakan “Rabb-mu Yang datang.”
Itu salah karena kita harus meyakini seperti yang dikatakan oleh Allah, bahwa Dia bisa datang sekehendak kemauan-Nya. Walaupun demikian, kita tetap memaafkannya karena itu lahir dari ijtihadnya dan jangan sampai kesalahan itu menjadi pintu untuk mencaci dan mencemooh.
Adapun bagi siapa saja yang ingin menjauhkan manusia dari kesalahan perkataan seperti itu, maka itu tidak apa-apa. Ada perbedaan antara orang yang ingin men-taqyim (menilai) orang lain secara menyeluruh, maka itu harus disebutkan kebaikan dan kesalahannya.
Tetapi kalau yang dimaksudkan adalah orang yang dikenal ketokohannya di tengah-tengah umat, maka kesalahan-kesalahannya dimaafkan, karena bisa saja dia mempunyai takwilan atau dia tidak mengetahui, atau yang semacamnya, selama kita mengetahui bahwa dia itu adalah pemberi kontribusi besar dalam perbaikan umat ini.
Kalau ingin menjauhkan manusia dari kesalahan yang muncul dari tokoh itu, maka tidak apa-apa menyebutkan kesalahan itu saja agar mereka tidak terjerumus ke dalamnya. [Lihat Koran Al-Muslimun, nomor 437, tanggal 28/12/1413 H, hal.8, judul; Pertemuan Bersama Syaikh Utsaimin Rahimahullah]
2. Seorang muslim adalah penyeru kepada kebaikan dan dia akan mendukung siapa saja yang mengajak kepada kebenaran. Setiap yang mengajak kepada kebaikan dalam Iingkup masyarakat Islam adalah penolong dan partner baginya.
Cobalah perhatikan tatkala Rasulullah ﷺ datang ke Madinah dan mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya,”Apa yang terjadi?” Mereka berkata, “Ini adalah hari yang baik, hari ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Nabi Musa berpuasa dan kami pun mengikutinya.”
Beliau bersabda, ”Sayalah yang lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian kemudian Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.”[Hadits riwayat Al-Bukhari no. 2004]
Jika kamu melihat ada orang yang mengajak kepada kebaikan dalam masyarakat Islam, maka jadilah orang pertama yang membantu dan menolongnya.
Dakwah Islam datang untuk mengajarkan umat Islam agar selalu menyantuni sesama pengajak kepada kebaikan, dan tidak bisa hanya merasa cukup dengan apa yang dia lakukan sendiri kemudian mengabaikan apa yang telah dilakukan oleh orang lain.
Rasulullah ﷺ dalam Shulh Al-Hudaibiyah bersabda, “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah mereka meminta kepadaku suatu rancangan yang mereka mengagungkan Allah di dalamnya melainkan aku pasti mengabulkannya.” [Hadits riwayat Al-Bukhari no. 2731]
Ibnu Al-Qayyim berkata,”Sesungguhnya orang-orang musyrik, pelaku bid’ah, dan pelaku maksiat, pembangkang, dan pelaku kezhaliman bila mereka mengajukan permohonan yang bertujuan mengagungkan aturan-aturan Allah, maka permintaannya mesti diterima dan harus dibantu, walaupun yang lain enggan melakukan itu.
Mereka didukung dalam rangka mengagungkan aturan Allah bukan karena kemaksiatan orang itu, karena setiap yang mengajukan bantuan untuk masalah yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, maka harus dikabulkan, selama tidak berkonsekuensi lahirnya sesuatu yang dimurkai Allah. Ini adalah kondisi yang sensitif dan tentunya susah serta berat secara kejiwaan.”[ Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zad Al-Ma’ad,3/303.][v]
Isi Perjanjian Hilful Fudhul
Poin-poin paling penting dari perjanjian Hiful Fudhul adalah sebagai berikut:
- Menolong orang-orang yang dizhalimi dan mengembalikan haknya.
- Melawan kezhaliman dan permusuhan.
- Mengembalikan semua hak kepada yang memiliki hak-hak tersebut.
- Melindungi Al-Bait Al’Atiq (Ka’bah)
- Mengokohkan nilai-nilai saling menolong, keadilan, saling memberikan jaminan dan pembelaan.[vi]
Demikian pembahasan tentang pelajaran dari Hilful Fudhul, perjanjian kesepakatan di antara para tokoh Quraisy di masa sebelum Islam yang dihadiri oleh Nabi ﷺ saat masih belia dan setelah masa Islam, didukung isi dan tujuannya oleh beliau ﷺ karena selaras dengan prinsip ajaran Islam yang menentang segala bentuk kezaliman dan menegakkan keadilan.
Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari rahmat Allah semata dan bila ada kesalahan dan kekeliruan maka itu dari kami dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya. Semoga Allah berkenan mengampuni seluruh kesalahan kami.
[ii] Fikih Sirah Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah ﷺ , Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Pustaka Darus Sunnah, hal 80.
[iii] https://www.islamweb.net/
[v] Fikih Sirah Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah ﷺ , Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Pustaka Darus Sunnah, hal. 81-86. Dengan sedikit perbaikan.
Incoming search terms:
- https://pusatjamdigital com/pelajaran-hilful-fudhul/ (1)
Tinggalkan Balasan