Iman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman terakhir dalam rangkaian rukun iman yang enam sesuai madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Rukun iman ini merupakan batu ujian yang tidak setiap orang muslim bisa lulus dalam menghadapinya.
Sebagian terjerumus ke dalam sikap ekstrim berupa keyakinan bahwa manusia seperti robot yang tidak memiliki kehendak bebas sama sekali.
Sebagian yang lain berada di kutub ekstrim yang satunya yaitu manusia bebas dari kehendak Allah sama sekali. Keduanya sikap yang menyimpang terhadap qadha’ dan qadar.
Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah dua kutub ekstrim tersebut. Dengan konsep keimanan yang benar terhadap qadha’ dan qadar, banyak buah yang sangat positif dirasakan oleh orang-orang mukmin dalam kehidupannya di dunia ini dan tentunya di akhirat nanti.
Tulisan berikut ini akan menjelaskan iman kepada qadha’ dan qadar sesuai dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan berbagai buah manis yang dihasilkannya.
Definisi Qadha’ dan Qadar
Dr. Muhammad Na’im Yasin mengatakan bahwa para ulama memiliki ungkapan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan Qadha’ dan Qadar. Di antara mereka ada yang berpendapat kedua kata tersebut memiliki makna yang sama.
Sebagian ulama yang lain berpendapat ada perbedaan di antara keduanya.
Pengertian Qadar:
Qadar adalah ilmu Allah Ta’ala tentang apa yang akan terjadi pada para makhluk di masa yang akan datang.
Pengertian Qadha’:
Sedangkan qadha’ adalah penciptaan Allah Ta’ala terhadap segala sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya dan kehendak-Nya.
Sebagian ulama lainnya justru berpendapat sebaliknya. Pengertian qadha’ tadi sebenarnya adalah definisi dari qadar dan pengertian dari qadar adalah definisi dari qadha’. Hal ini mungkin saja.
Qadha’ & Qadar adalah sama
Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa qadha’ dan qadar itu dua kata yang memiliki satu makna mengatakan:
‘Ia merupakan sistem (tatanan aturan) yang kokoh sempurna yang Allah tetapkan pada alam wujud ini dan merupakan hukum yang berlaku umum serta ketentuan-ketentuan yang mengikat antara sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. [Al-‘Aqaid al Islamiyyah, Sayyid Sabiq. hal. 95].
Makna inilah yang diterangkan oleh ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan tentang qadar (takdir). seperti firman Allah Ta’ala’
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. [Ar-Ra’du: 8]
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. [Al-Hijr: 21]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [Al-Qamar: 49]
Betapa indahnya jawaban Imam Ahmad rahimahullah saat ditanya tentang takdir, beliau menjawab, ‘Takdir adalah kekuasaan Ar-Rahman.”
Sebenarnya, definisi Imam Ahmad rahimahullah Ta’ala itu telah memadai dan tuntas. Jadi takdir adalah apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ ۗ
Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. [Ali Imran: 154]
dan firman-Nya,
وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, [Hud: 123]
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. [Yasin: 83]
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ
untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.[Yunus: 3]
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa sesuatu di alam raya ini tidak ada yang terjadi kecuali dengan keinginan dan kehendak-Nya.[i]
Pengertian / Makna Beriman Kepada Qadha’ dan Qadar
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Abdullah At-Tuwaijiri, yang dimaksud dengan iman kepada takdir adalah pembenaran yang bersifat mutlak bahwa segala kebaikan dan keburukan yang terjadi dan segala sesuatu itu (terjadi) dengan ketetapan dan takdir Allah sebagaimana firman-Nya,
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. [Al-Qamar: 49.][ii]
Baca juga: Makna Iman Kepada Hal Ghaib
Dalil Wajibnya Beriman kepada Qadha’ dan Qadar
Rukun iman yang agung ini didukung dengan dalil-dalil dari al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, fithrah, akal dan indera. Namun dalam kesempatan ini hanya akan disebutkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah saja.[iii]
Dalil Quran tentang Iman kepada Qadha & Qadar
Dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Takdir sangat banyak. Di antaranya adalah:
وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [Al-Ahzab: 38]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [Al-Qamar: 49]
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah kha-zanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” [Al-Hijr: 21]
إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
“Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” [Al-Mursalat: 22-23]
ثُمَّ جِئْتَ عَلَىٰ قَدَرٍ يَا مُوسَىٰ
“…Kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.” [Thaha: 40]
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“…Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Al-Furqan: 2]
مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ
Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. [‘Abasa: 19]
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ
“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” [Al-A’la: 3]
لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا
“… (Allah mempertemukan kedua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan…” [Al-Anfal:42]
وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali…” [Al-Isra’: 4]
Dalil Hadits tentang Qadha & Qadar
Dalil-dalil dari as-sunnah yang menunjukkan wajibnya iman kepada qadha’ dan qadar juga banyak. Di antaranya:
- Sabda Nabi ﷺ dalam hadits Jibril.
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ.
”Jibril berkata,”Beritahulah aku tentang iman.” Nabi ﷺ menjawab,”Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” [Hadits riwayat Muslim (8) dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu]
- Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
– عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ ”
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,”Seorang hamba tidak beriman sampai dia beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Sehingga dia mengetahui bahwa apa yang telah menimpa dirinya tidak akan meleset dari dirinya dan bahwa apa yang meleset dari dirinya tidak akan menimpa dirinya.”
Hadits riwayat At-Tirmidzi (2144). Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (1723) dan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (2439)
- Imam Muslim meriwayatkan di dalam Ash-Shahih dari Thawus (ulama Tabi’in dari Yaman), dia berkata, ‘
Saya mengetahui sejumlah Sahabat Rasulullah ﷺ mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir.’ Ia kemudian berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir hingga masalah kelemahan dan kecerdasan, atau kecerdasan dan kelemahan.”
[Hadits riwayat Muslim (2655), Malik di dalam Al-Muwatha’ 2/879 dan Ahmad di dalam al-Musnad.
- Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
– وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُل:ْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“…Dan apabila sesuatu menimpamu, maka kamu jangan berkata, ‘Seandainya aku melakukannya, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi katakanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi…” .Hadits riwayat Muslim (2664)]
Baca juga: Penjelasan Makna Iman Kepada Allah
Tingkatan Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir ada empat tingkatan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin:
1. Ilmu (al-ilmu)
yaitu kita beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala sesuatu, mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi dan bagaimana akan terjadi, dengan ilmu-Nya yang azali dan abadi.
Tidak ada suatu ilmu baru pun yang Allah tidak ketahui sebelumnya dan Allah sama sekali tidak lupa dengan apa yang Dia ketahui.
2. Penulisan (al-kitabah)
Yaitu kita beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Firman Allah:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [Al-Hajj: 70]
3. Kehendak (al-Masyiah)
Yaitu kita beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi.
Tiada sesuatu pun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
4. Penciptaan (Al-Khalqu)
Yaitu kita beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pencipta segala sesuatu. Allah berfirman,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kepunyaan-Nya-lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi. [Az-Zumar: 62-63]
Keempat tingkatan ini meliputi apa saja yang terjadi baik dari sisi Allah maupun yang terjadi dari sisi para hamba. maka,apa pun yang dilakukan oleh seorang hamba baik berupa perkataan, atau perbuatan atau pun tindakan meninggalkan sesuatu itu diketahui oleh Allah, ditulis di sisi Allah, Allah Ta’ala menghendakinya dan menciptakannya.
Allah Ta’ala berfirman,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. [At-Takwir: 28-29]
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. [Al-Baqarah: 253]
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. [Al-An’am: 137]
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
‘Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. [Ash-Shafat: 96][iv]
Baca juga: Hikmah Iman Kepada Malaikat
Macam-Macam Takdir
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Abdullah At-Tuwaijiri mengatakan bahwa takdir Alla Ta’ala itu ada dua macam:
- Apa yang Allah jalankan di alam ini berupa penciptaan, rezeki, kehidupan, kematian, perubahan, pengaturan dan seterusnya yang merupakan perkara-perkara yang terkait dengan alam ini.
Takdir-takdir yang besar ini Allah jalankan di hadapan kita agar kita mengetahui keagungan Allah dan keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, jangkauan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Bila kita mengetahui hal itu, kita akan beriman kepada-Nya dan mentaati-Nya serta beribadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath-Thalaq: 12]
- Apa yang Allah berlakukan terhadap umat manusia baik itu berupa kebaikan atau keburukan. Hal ini terjadi sesuai dengan amal manusia tersebut. Siapa yang beriman dan beramal shaleh Allah akan membuatnya bahagia di dunia.
Kemudian Allah menambah kebahagiannya pada saat meninggal kemudian Allah tambah lagi di alam kubur kemudian kebahagiaannya mencapai kesempurnaannya di surga. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl: 97]
Sedangkan orang yang kafir dan maksiat kepada Allah akan sengsara di dunia kemudian bertambah deritanya saat meninggal, kemudian bertambah siksanya di alam kubur lalu siksaannya mencapai puncaknya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. [An-Nisa’: 123]
Dengan demikian berjalannya takdir Allah atas manusia itu sesuai dengan kebaikan dan keburukan atau ketaatan dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.[v]
Madzhab Ahlus Sunnah / Salaf Dalam Qadha’ Dan Qadar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan madzhab Salaf atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah qadha’ dan qadar sebagai berikut:
”Inilah yang menjadi ketetapan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Ta’ala.
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala tidak lepas dari hikmah kebijaksanaan-Nya, bukan kehendak yang mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanan-Nya.
Karena di antara nama Allah Ta’ala adalah Al-Hakim yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusan-Nya.
Allah dengan sifat hikmah-Nya menentukan hidayah bagi siapa yang dikehendaki-Nya yang menurut ilmu-Nya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya istiqamah.
Dengan sifat hikmah-Nya pula, Dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka terhadap kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam.
Sifat hikmah Allah Ta’ala tidak dapat menerima bila orang yang suka terhadap kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Ta’ala memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya dan Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun sifat hikmah-Nya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan akibatnya.[vi]
Baca juga: Penjelasan Makna Iman Kepada Rasul
Buah Iman Kepada Qadha’ dan Qadar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa buah dari iman kepada takdir adalah sebagai berikut:[vii]
- Bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab karena sebab dan akibat itu keduanya terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah.
- Jiwa menjadi tenteram dan hati menjadi tenang. Ini karena ketika seseorang mengetahui bahwa semua itu karena qadha’ dari Allah Ta’ala dan bahwa apa yang tidak disukai itu mau tidak mau harus terjadi, jiwanya menjadi tenteram dan hatinya menjadi tenang serta ridha dengan ketetapan dari Allah.
Tidak ada orang yang lebih bahagia kehidupannya, lebih tenteram jiwanya dan lebih kuat ketenangannya melebihi orang-orang yang beriman kepada takdir.
- Mengusir rasa ujub dari dalam jiwa saat mendapatkan apa yang diinginkan karena tercapainya hal tersebut merupakan nikmat dari Allah karena Allah mentakdirkan sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan. Maka dia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas hal itu dan tidak merasa ujub.
- Mengusir kegalauan dan rasa bosan saat apa yang diinginkan tidak terwujud atau apa yang tidak disukai justru terjadi karena semua itu dengan ketetapan dari Allah Ta’ala yang memiliki langit dan bumi.
Hal itu pasti terjadi sehingga dia bisa bersabar atas hal tersebut dan mengharapkan pahala. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, [Al-Hadid: 22-23]
Baca juga: Contoh Perilaku Iman Kepada Kitab Allah
Hikmah Beriman Kepada Qadha’ dan Qadar
Syaikh Ali Jum’ah, seorang ulama terkemuka di Mesir mengatakan bahwa dalam persoalan qadha’ dan qadar ini terdapat hikmah yang sangat tinggi yaitu hikmah ujian dengan persoalan ridha kepada Allah.
Seorang manusia tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk dirinya esok hari. Maka, sudah menjadi haknya untuk mengangankan sesuatu dan berusaha untuk mewujudkan perkara yang mubah dan disyariatkan.
Ketika angan dan mimpi tersebut tidak terwujud, apa yang direncanakan oleh makhluk ternyata berbeda dengan apa yang diinginkan oleh sang Khaliq, maka nampaklah iman yang hakiki itu.
Apabila apa yang telah ditetapkan oleh Sang Khaliq itu lebih dia cintai daripada apa yang telah dia rencanakan untuk dirinya sendiri, maka itulah orang mukmin yang shalih.
Namun apabila dia enggan menerima dan menentang serta murka maka dia adalah orang yang bermaksiat dan bodoh. Tidak adanya keridhaan dan sikapnya yang murka terhadap takdir Allah terkadang bisa mengakibatkan keluarnya dirinya dari agama ini, wal ‘iyadzu billah.[viii]
Baca juga: Hikmah & Buah Iman Kepada Hari Akhir
Contoh Perilaku Iman Kepada Qadha dan Qadar
Untuk memberikan gambaran yang hidup tentang contoh perilaku iman kepada qadha’ dan qadar pada masa kini, yang merupakan buah yang sangat indah yang dihasilkan oleh keimanan yang benar kepada qadha’ dan qadar, kami nukilkan kisah menarik yang diceritakan oleh Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya yang fenomenal, La Tahzan.
“Akan saya (Dr. Al-Qarni) paparkan di sini sebuah cerita yang berkaitan dengan qadha’, yakni tentang kebahagiaan orang yang mempercayainya dan tentang kebingungan orang yang tidak menerima qadha’.
Inilah kisah yang ditulis oleh R.V.C Bodley, seorang penulis terkenal asal Amerika, penulis buku Wind in the Sahara, The Messenger, dan empat belas buku lainnya.
Pada tahun 1918 dia tinggal di Afrika Barat Laut – hidup bersama orang-orang nomadik (orang yang hidupnya berpindah-pindah) yang telah memeluk Islam.
Mereka adalah orang-orang yang selalu melakukan shalat, berpuasa, dan berdzikir kepada Allah. Si penulis membeberkan sebagian pengalamannya bersama mereka.
Dia menuliskan: ”Suatu hari badai ganas mengamuk, melemparkan bebatuan gurun, membawanya melewati laut Mediterania, dan jatuh di sungai Rhone di Perancis. Angin itu panas sekali, sampai rambut saya hangus rasanya.
Tenggorokan jadi kering dan sangat haus. Mata terasa pedih. Gigi kotor penuh pasir. Rasanya saya berdiri di depan tungku api pabrik gelas. Saya jadi hampir gila karena tidak kuat menahan ganasnya alam.
Tetapi orang-orang Arab itu tidak mengeluh. Mereka hanya mengangkat kedua bahunya dan berkata, ‘Qadha’un maktub (sudah ditakdirkan begini).’
Begitu badai selesai, mereka pun kembali bekerja melanjutkan pekerjaan mereka dengan semangat. Semua anak kambing yang ada disembelih karena pasti akan mati terkena efek dari badai itu.
Dengan menyembelih semua anak kambing yang ada mereka berharap dapat menyelamatkan induknya.
Setelah penyembelihan anak kambing selesai, kambing yang hidup segera digiring ke selatan untuk diberi minum. Semua ini dilakukan dengan biasa-biasa saja. Mereka sama sekali tidak merasa sedih, mengeluh atau menyesali kerugian yang mereka derita.
Kepala suku mereka berkata, ‘Kita memang kehilangan harta. Akan tetapi bersyukurlah kepada Allah bahwa empat puluh persen dari kambing-kambing kita masih hidup. Dari jumlah ini kita dapat mulai beternak lagi.
Saya ingat, pada kesempatan yang lain kami naik mobil menyeberangi padang pasir. Ban mobil kami pecah satu. Sopir lupa menambal ban serep. Jadi kami berada di tengah lautan padang pasir dengan tiga ban saja.
Saya marah dan bingung. Saya tanya orang Arab itu, apa yang akan mereka perbuat. Mereka mengingatkan saya bahwa bingung atau marah itu tidak akan pernah menolong, tapi justru akan menambah suasana hati menjadi semakin panas dan pikiran keruh.
Mereka mengatakan ban tersebut pecah atas kehendak Allah. Tak ada yang bisa diperbuat. Terpaksa kami meneruskan perjalanan dengan satu ban kempes. Tak lama kami berjalan, mobil berhenti dengan sendirinya, ternyata bensinnya habis.
Dengan kejadian ini tak ada satu pun yang marah. Kami tetap tenang. Kami pun meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dengan berjalan kaki sambil berdendang gembira.
Setelah tujuh tahun hidup bersama orang-orang Arab, saya menjadi yakin bahwa orang-orang Amerika dan Eropa yang tertekan mentalnya, sakit jiwa dan minum-minuman beralkohol adalah korban dari kehidupan kota yang selalu ingin serba cepat.
Selama hidup di gurun saya tidak pernah merasa bingung berkepanjangan. Di sana seperti berada di kebun Tuhan. Saya menemukan kedamaian, kepuasan hati dan ketenangan batin.
Banyak orang menghinakan pemahaman fatalistis yang dianut oleh orang-orang Arab dan banyak pula orang mencemoohkan kepatuhan mereka terhadap qadha’ dan qadar.
Tapi siapa yang tahu? Bisa jadi orang-orang Arab itu malah berhasil mendapatkan hakikat.
Jika saya kembali kepada ingatan di belakang dan melihat kehidupan saya, jelas bahwa kehidupan itu terdiri dari periode-periode yang saling terpisah satu sama lain.
Dan hal itu yang harus saya jalani, tanpa pernah diberi waktu untuk menimbang-nimbang atau untuk menolaknya. Orang-orang Arab menyebut peristiwa-peristiwa seperti ini dengan qadar, qismah atau keputusan Allah.
Pendek kata, setelah 17 tahun meninggalkan gurun, saya tahu bahwa saya masih tetap berpegang teguh pada sikap pasrah menghadapi qadha’ Allah. Dan saya menghadapi semua kejadian yang tidak mungkin dielakkan dengan damai, penuh kepatuhan dan tenang.
Sikap yang saya dapatkan dari orang-orang Arab ini lebih manjur untuk menenangkan syaraf-syaraf saya ketimbang ribuan obat penenang.”[ix]
Semoga tulisan ini bermanfaat. Apabila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari rahmat Allah Ta’ala semata. Dan bila ada kesalahan dan kekeliruan di dalamnya maka itu dari kami dan dari setan. Semoga Allah berkenan mengampuni semua kesalahan kami.
[i] Al Iman, Dr. Muhammad Na’im Yasin. hal.72-73
[ii] Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami fi Dhauil Quran was Sunnah, Muhammad bin Ibrahim Abdullah At-Tuwaijiri, cetakan ke 11, 1431 H / 2010 M, hal. 177.
[iii] Al-Iman bil Qadha’ wal Qadar, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Daru Ibni Khuzaimah, Saudi Arabia, cetakan ke 4, 1435 H / 2015 M, hal. 39-41.
[iv] Aqidah Ahlis Sunnah wal Jamaah, Syaikh Utsaimin, cetakan keempat 1422 H, hal. 38-39.
[v] Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami fi Dhauil Quran was Sunnah, Muhammad bin Ibrahim Abdullah At-Tuwaijiri, cetakan ke 11, 1431 H / 2010 M, hal. 79-80.
[vi] Qadha’ dan Qadar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, edisi terjemahan, Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 1428 H / 2007 M, hal. 24-25.
[vii] Aqidah Ahlis Sunnah wal Jamaah, Syaikh Utsaimin, cetakan keempat 1422 H, hal. 47-48.
[viii] https://www.vetogate.com/
[ix] La Tahzan, Jangan Bersedih, Dr. ‘Aidh Al-Qarni, Qisthi Press, Jakarta, 2004, hal. 442-444.
Incoming search terms:
- https://pusatjamdigital com/rukun-iman/iman-kepada-qadha-qadar/ (1)
- iman kepada qadha dan qadar (1)