Masjid Dhirar – Tulisan ini akan membahas sejumlah persoalan terkait Masjid Dhirar dalam hubungannya dengan masalah hukum.
Selain pengertian Masjid Dhirar, persoalan yang akan dibahas adalah hukum shalat di dalamnya, hukum shalat di masjid yang tidak jelas statusnya, bila terlanjur shalat di Masjid Dhirar karena tidak tahu haruskah diulang shalatnya?
Kemudian juga dibahas tentang sanksi hukum terhadap Masjid Dhirar, dan haruskah Masjid Dhirar itu dirobohkan dan dibakar? Semua persoalan tersebut akan dibahas secara ringkas dan jelas insyaAllah. Semoga saja tulisan ini bermanfaat.
Daftar Isi
- Pengertian Masjid Dhirar
- Hukum Shalat di Masjid Dhirar
- Hukum Shalat di Sebuah Masjid yang Statusnya Tidak Jelas
- Haruskah Mengulang Shalat Bila Terlanjur Shalat di Masjid Dhirar karena Tidak Tahu?
- Hukuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Masjid Dhirar
- Masjid Dhirar Haruskah Dirobohkan Dan Dibakar?
Pengertian Masjid Dhirar
Pengertian Masjid Dhirar bisa kita ketahui kriterianya dari keterangan Allah Ta’ala langsung dalam firman-Nya tentang Masjid Dhirar:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.
Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” [At Taubah: 107]
Berdasarkan ayat ini, Masjid Dhirar adalah masjid yang memiliki 4 tujuan dalam pembangunannya:
- Untuk menimpakan bahaya kepada kaum Muslimin
- Untuk memecah belah persatuan orang-orang beriman
- Untuk menguatkan kekafiran dan bukan atas dasar takwa
- Untuk menjadi markas persekongkolan jahat dengan orang -orang yang memerangai Allah dan Rasul-Nya.
Namun ternyata ada banyak ulama yang tidak membatasi ketentuan Masjid Dhirar dengan 4 kriteria di atas. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al Qurthubi rahimahullah.
Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsirnya,’Para ulama kami (yaitu ulama mazhab Maliki) berkata,” Sebuah masjid tidak boleh didirikan di samping masjid yang sudah ada. Wajib untuk menghancurkannya dan mencegah pembangunannya.
Tujuannya adalah agar tidak memalingkan jamaah masjid yang lebih awal sehingga bisa menyebabkannya kosong. Kecuali bila daerahnya luas dan penduduk di daerah tersebut tidak bisa ditampung dengan satu masjid saja.
Bila demikian halnya, dan tidak tersedia tempat lain yang jauh dari masjid yang lebih awal maka silahkan untuk mendirikan masjid di dekat masjid tadi.”
Kemudian mereka (para ulama madzhab Maliki) tadi mengatakan,’Setiap masjid yang dibangun atas dasar madharat atau riya’ dan sum’ah maka masjid seperti itu masuk ke dalam hukum Masjid Dhirar.”
Kemudian Al Qurthubi mengatakan bahwa siapa saja yang melakukan sesuatu dengan tujuan untuk menimpakan madharat kepada yang lain maka wajib untuk dicegah.[1]
Hukum Shalat di Masjid Dhirar
Hukum shalat di dalam masjid yang secara pasti telah terbukti sebagai Masjid Dhirar berdasarkan penelitian dan penilaian ulama yang terpercaya adalah tidak diperbolehkan. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [At- Taubah: 108)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini:
نهي له صلى الله عليه وسلم والأمة تبع له في ذلك عن أن يقوم فيه أي يصلي أبداً
“Allah melarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari melaksanakan shalat di dalam Masjid Dhirar untuk selama-lamanya. Dan umat Islam mengikuti beliau dalam hal ini.” [Lihat Tafsir Al Quranul ‘Azhim, karya AL Imam Al hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, saat menjelaskan tafsir Surat At Taubah: 108]
Hukum Shalat di Sebuah Masjid yang Statusnya Tidak Jelas
Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah seorang Muslim dilarang untuk mengambil keputusan untuk tidak shalat di sebuah masjid berdasarkan pada dugaan atau perkiraan atau tuduhan tanpa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan secara syar’I bahwa masjid tersebut adalah Masjid Dhirar.
Jadi pada asalnya seorang muslim hendaklah shalat ketika waktu shalat telah tiba di masjid yang dia dapati tanpa merasa ragu tentang tempat tersebut apakah Masjid Dhirar atau bukan.
Hal ini karena sesuatu yang telah tetap secara meyakinkan – dalam hal ini berupa ketetapan bahwa semua bagian bumi ini telah dijadikan sebagai masjid bagi kita dan sebagai sarana untuk bersuci – itu tidak bisa dihilangkan hanya berdasarkan rasa ragu.
Rasa ragu atau dugaan semata, itu tidak mencukupi untuk melarang shalat dalam sebuah masjid sampai yakin sepenuhnya bahwa masjid itu adalah Masjid Dhirar. Hal ini sebagaimana perkataan para fuqaha tentang kaidah:
اليقين لا يزول بالشك.. بل لا يزال اليقين إلا بيقين مثله
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan…bahkan keyakinan itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keyakinan yang semisal dengannya.”
Apabila yakin bahwa sebuah masjid itu Masjid Dhirar karena pada masjid tersebut terkumpul seluruh sifat Masjid Dhirar maka haram untuk shalat di dalamnya. Namun apabila merasa ragu maka keraguan ini tidak ada nilainya sama sekali karena hukum asal harus didahulukan daripada keraguan ini.
Haruskah Mengulang Shalat Bila Terlanjur Shalat di Masjid Dhirar karena Tidak Tahu?
Apabila seseorang yakin bahwa sebuah masjid itu ternyata adalah Masjid Dhirar akan tetapi dia tahu setelah dia melakukan shalat di dalamnya maka shalatnya tidak perlu diulang.
Ini karena pendapat yang mengatakan bahwa shalat tersebut harus diulang itu tidak ada dalilnya sama sekali. Bahkan dalil yang ada menunjukkan sebaliknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan seorang pun dari mereka yang pernah shalat di Masjid Dhirar yang pertama ada untuk mengulang shalatnya.
Andaikan beliau memerintah mereka, maka akan sampai riwayat itu kepada kita.
Andaikan wajib bagi mereka untuk mengulang shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menunda penjelasan tentang hal itu dan perintah untuk melaksanakannya, dari waktu yang saat itu dibutuhkan.
Hukuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Masjid Dhirar
Mengenai tindakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Masjid Dhirar itu sudah jelas yaitu beliau memerintahkan untuk merobohkan dan membakarnya. Namun ada baiknya di sini kita detailkan agar mendapatkan gambaran yang lebih urut secara kronologis.
Sekaligus menambah gamblang bayangan kita terhadap ketegasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengambil keputusan dan para sahabat yang menjalankan tugas tersebut.
Di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan sebagai berikut:
“Muhammad bin Ishaq bin Yasar telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, Yazid bin Rauman, Abdullah bin Abu Bakar, Asim bin Amr bin Qatadah, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Tabuk, lalu turun istirahat di Dzu Awan, nama sebuah kampung yang jaraknya setengah hari dari Madinah.
Sebelum itu di tempat yang sama para pembangun Masjid Dhirar pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang bersiap-siap menuju ke medan perang Tabuk.
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah membangun sebuah masjid untuk orang-orang yang uzur dan orang-orang yang miskin di saat malam yang hujan dan malam yang dingin.
Dan sesungguhnya kami sangat menginginkan jika engkau datang kepada kami dan melakukan shalat di dalam masjid kami serta mendoakan keberkatan bagi kami.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya,” Sesungguhnya aku sedang dalam perjalanan dan dalam keadaan sibuk.” Atau dengan perkataan lainnya yang semisal.
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda pula,” Seandainya kami tiba, insya Allah, kami akan datang kepada kalian dan kami akan melakukan shalat padanya untuk memenuhi undangan kalian.”
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Dzu Awan, datanglah wahyu yang menceritakan perihal masjid tersebut.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Malik bin Dukhsyum (saudara lelaki Bani Salim bin Auf) dan Ma’an bin Addi atau saudara lelakinya (yaitu Amir bin Addi yang juga saudara lelaki Al-‘Ajlan). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Berangkatlah kamu berdua ke masjid ini yang pemiliknya zalim, dan robohkanlah serta bakarlah masjidnya.”
Maka keduanya dengan segera berangkat ke sana, hingga sampai ke tempat orang-orang Bani Salim bin Auf yang merupakan kerabat Malik bin Dukhsyum.
Lalu Malik berkata kepada Ma’an, “Tunggulah aku! Aku akan membuatkan api untukmu dari keluargaku.” Lalu Malik masuk menemui keluarganya dan mengambil pelepah dari kurma, lalu menyalakan api dengannya.
Setelah itu keduanya berangkat dengan cepat hingga datang ke masjid itu dan memasukinya. Di dalam masjid terdapat keluarganya, maka keduanya membakar masjid itu dan merobohkannya, sedangkan orang-orang yang tadi ada di dalamnya bubar keluar berpencar-pencar.
Dan diturunkanlah Al-Qur’an yang menceritakan perihal mereka, yaitu firman-Nya:
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya). [At-Taubah: 107] hingga akhir kisah.[2]
Baca juga: Doa Keluar Masjid Lengkap
Masjid Dhirar Haruskah Dirobohkan Dan Dibakar?
Menurut Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah persoalan ini dikembalikan kepada Imam atau orang yang mewakilinya dari kalangan para Komandan pasukan dan Jihad yang memiliki kekuasaan dan kekuatan serta pengaruh.
Apabila dari tinjauan maslahat dan Siyasah Syar’iyyah harus dibakar dan dihancurkan, maka dibakar dan dihancurkanlah masjid tersebut. Namun jika dilihat lebih maslahat untuk dirubah tampilannya dan dialih fungsikan, maka itulah yang dilakukan.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Zadul Ma’ad: 3/571 berkata:
“Mengingat pembangunan masjid tersebut – yaitu Masjid Dhirar – adalah untuk menimbulkan madharat dan memecah belah orang-orang beriman serta menjadi tempat perlindungan orang-orang munafik, setiap tempat yang seperti ini kondisinya wajib bagi Imam untuk memusnahkannya baik dengan menghancurkan dan membakarnya atau dengan cara mengubah tampilannya dan mengalihfungsikannya, dikeluarkan dari tujuan awal pembangunannya.”
Saya (Syaikh Abdul Mun’im) katakan, khususnya apabila masjid ini besar. Konstruksi dan pembangunannya menelan biaya jutaan dolar (US). Maka langkah untuk menghancurkan dan membakarnya terkadang bisa menimbulkan fitnah terhadap Diin anggota masyarakat umum.
Pelaksanaan sanksi seperti itu mengakibatkan berbagai fitnah dan madharat yang lebih besar dari kerusakan yang hendak dihilangkan.
Dalam kondisi semacam ini, tidak ragu lagi bahwa yang lebih baik dan lebih selamat adalah mengubah tampilannya dan fungsi masjid nya dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang memberikan maslahat kepada umat dan negara.
Di dalam sunnah ada yang bisa menjadi dalil terhadap hal ini. Sudah jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menolak untuk menghancurkan ka’bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim ‘alaihissalam.
Sebabnya adalah penduduk Mekah saat itu baru saja masuk Islam sehingga dikhawatirkan terjadi fitnah atas mereka dan jangan sampai muncul persepsi bahwa ka’bah telah dihancurkan![3]
Keterangan dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini memberikan alternatif solusi yang sangat membantu para pengambil kebijakan dalam mengambil keputusan.
Keputusan yang diambil terkait tindakan yang harus dilakukan terhadap sebuah masjid atau tempat yang memenuhi sifat-sifat masjid Dhirar menjadi lebih terbuka.
Tindakan yang diambil tidak terbatas pada pembakaran dan penghancuran namun dicari yang paling besar maslahatnya dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar.
Demikian tulisan singkat tentang Masjid Dhirar, dan sejumlah persoalan terkait masalah hukum sholat di dalamnya. Serta sanksi hukum terhadap masjid yang positif terbukti sebagai Masjid Dhirar berdasarkan penelitian dan pembuktian oleh para ulama terpercaya.
Masjid Dhirar adalah salah satu jenis masjid yang terlarang untuk dibangun oleh kaum muslimin.
Semoga artikel singkat ini bermanfaat bagi kaum Muslimin dan menjadi pemberat timbangan bagi penulis di akhirat nanti. Amin.
[1] Lihat: https://fatwa.islamonline.net/2058
[2] Lihat Tafsir Al Quranul Azhim, Karya Al Imam Al Hafizh Imadudin Abil Fida’ Ismail Ibni Katsir Ad Dimasyqi, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1419 H/1998, cetakan pertama. Juz 4: 185-186,
[3] Lihat: Shifatu Masajid Dhirar Allati Yajibu I’tizaluha, Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah. Halaman 11.
Incoming search terms:
- hukum sholat di masjid dhiror (1)
- masjid dhirar (1)