Perang Bani Musthaliq merupakan perang yang terjadi sebagai akibat dari kekalahan yang sempat diderita oleh kaum Muslimin pada perang Uhud. Kabilah Bani Musthaliq yang pernah didakwahi oleh Rasulullah ﷺ untuk masuk Islam – namun menolak – menjadi punya nyali untuk mencoba menyerbu kaum Muslimin.
Namun mereka salah kalkulasi dan langsung menderita kekalahan dalam sekali gempuran. Dalam perang Bani Musthaliq ini ada banyak peristiwa penting dan pelajaran menarik yang layak untuk diketahui oleh kaum Muslimin.
Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas dan jelas tentang perang Bani Musthaliq berikut sejumlah pelajaran yang ada di dalamnya.
Siapa Bani Musthaliq?
Bani Al-Musthaliq adalah sebuah keluarga besar dari kabilah Khaza’ah Al-Azdi Al-Yamani. Mereka tinggal di Qudaid dan di Asafan, wilayah yang terletak antara Madinah dan Makkah.
Jarak Qudaid dari Makkah sejauh 120 kilometer, dan jarak Asafan dari Makkah sejauh 80 kilometer. Jadi jarak antara Qudaid dengan Asafan sejauh 40 kilo meter.
Pemukiman kabilah Khaza’ah tersebar di jalan yang menghubungkan dari Madinah ke Makkah di antara lintas Zhahran yang berjarak 30 kilo meter dari Makkah dan antara Abwa’ (3 kilometer dari timur Masturah) yang berjarak 240 kilometer dari Makkah.
Dengan demikian posisi pemukiman Bani Al-Musthaliq berada di tengah-tengah komplek wilayah perkampungan besar kabilah Khaza’ah, sebuah posisi yang sangat strategis bagi pertentangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy.
Kabilah Khaza’ah punya hubungan damai dengan kaum Muslimin. Bahkan, mereka juga masih punya hubungan nasab dan beberapa kepentingan dengan kaum Anshar.
Hubungan tersebut memiliki pengaruh tersendiri dalam memperbaiki hubungan-hubungan lainnya, kendatipun persekutuan lama yang terjalin antara mereka dengan orang-orang Quraisy punya kepentingan besar dalam lintas perdagangan ke Syiria.[i]
Kapan Terjadinya Perang Bani Musthaliq?
Mengenai waktu terjadinya perang Bani Musthaliq, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada tiga pendapat berbeda di kalangan para ulama:
- Pendapat pertama menyatakan terjadinya pada tahun ke 6 Hijriyah.
Yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Ishak sang Imam Maghazi (Pakar terkemuka dalam sejarah peperangan dalam sejarah Islam). Diikuti oleh Khalifah bin khayyath, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr, Ibnul ‘Arabi, ibnul Atsir dan Ibnu Khaldun. Masing-masing dari mereka itu menegaskan bahwa perang Bani Musthaliq terjadi pada bulan Sya’ban tahun 6 hijriyah.
- Pendapat kedua menyatakan terjadinya pada tahun ke 4 Hijriyah
Ini merupakan pendapat yang lain dari Ibnu Hazm dan disepakati oleh sejumlah ulama. Di antaranya adalah Malik bin Anas, Musa bin ‘Uqbah, Al-Bukhari, Ibnu Qutaibah, Ya’qub bin Sufyan Al- Fasawi, lalu An-Nawawi dan Ibnu Khaldun.
- Pendapat ketiga menyatakan terjadinya pada tahun ke 5 Hijriyah.
Yang berpendapat seperti ini adalah sekelompok ulama, yaitu: Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Qutaibah, Al-Baladzari, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan Ibnu katsir rahimahumullah.
Sedangkan ulama pada masa kini adalah Al-Khadhri Bek, Al-Ghazali, Al-Buthi, Abu Syuhbah dan Syaikh As-Sa’ati. Pendapat ini adalah pendapat paling shahih dan paling kuat, wallahu a’lam karena dalil-dalil seluruhnya saling menguatkan dan selaras mendukung pendapat ini.[ii]
Sebab Terjadinya Perang Bani Musthaliq
Ada sejumlah sebab dari perang ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Dukungan kabilah ini kepada Quraisy dan kebersamaannya dengan Quraisy dalam perang Uhud melawan kaum muslimin, yaitu dalam kelompok Al-Ahabisy yang berada di kesatuan pasukan Makkah.
- Penguasaan kabilah ini terhadap jalur utama menuju Makkah sehingga menjadi penghalang kuat dari pergerakan kaum Muslimin ke Makkah.
- Sebab terpenting dari perang ini adalah kabilah Bani Musthaliq telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang Madinah al-Munawwarah. Yang membuat mereka terdorong untuk berfikir dalam menyerbu Madinah dan bertekad kuat dalam melakukannya adalah kemenangan kaum Musyrikin dalam perang Uhud.
Setelah berita ini sampai kepada Rasulullah ﷺ , beliau menyiapkan perbekalannya dan melakukan persiapan yang sesuai dan menyerang mereka secara mendadak di wilayah mereka serta mengalahkan mereka dengan telak.[iii]
Sebelum melakukan penyerangan setelah mendapatkan informasi akan adanya serangan dari Bani Musthaliq, Rasulullah ﷺ mengutus Buraidah bin Hushaib Al-Aslami untuk memastikan kebenarannya.
Kemudian berangkatlah ia untuk bertemu Harits bin Abu Dhirar dan menanyakan hal itu kepadanya. Setelah itu, kembalilah ia kepada Rasulullah ﷺ dan menyampaikan berita tentang tekad mereka untuk menyerbu Madinah.
Bani Musthaliq pernah mendapatkan seruan untuk memeluk Islam. Mereka juga bersekutu dengan kaum kafir dalam perang Uhud serta menghimpun kekuatan untuk menyerbu Madinah. Kemudian Rasulullah ﷺ melakukan serangan mendadak saat mereka lengah.[iv]
Sejarah Singkat Perang Bani Musthaliq
Pada hari Senin tanggal 2 bulan Sya’ban tahun ke-5 Hijriyah Rasulullah ﷺ bertolak dari Madinah dengan membawa pasukannya menuju perkampungan Bani Al-Musthaliq.
Tidak ada satu pun riwayat shahih yang menjelaskan berapa jumlah pasukan yang dibawa Rasulullah ﷺ untuk menghadapi Bani Al-Musthaliq.
Menurut Adz-Dzahabi, mereka berjumlah 700 orang pasukan. Kata Al-Waqidi, mereka membawa 30 ekor kuda, 10 ekor milik kaum Muhajirin dan 20 ekor milik kaum Anshar.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar – selaku saksi sejarah yang ikut terlibat dalam pertempuran tersebut -bahwa Rasulullah ﷺ mengepung Bani Al-Musthaliq ketika mereka sedang memberi minum kawanan ternaknya.
Pasukan mereka berhasil dibunuh, dan kaum wanita serta keluarga mereka ditawan, termasuk pada waktu itu ialah Juwairiyah.[v]
Pelajaran Hikmah Perang Bani Musthaliq
Pelajaran dan hikmah dari perang Bani Musthaliq ini menurut Prof.Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid di antaranya adalah sebagai berikut:[vi]
- Rasulullah ﷺ mengutus Buraidah bin Husaib ke Harits bin Abu Dhirar untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima oleh beliau. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya memastikan dan mengecek ulang informasi serta tidak tergesa-gesa dalam menyikapinya.
Ada sebagian orang yang gampang menerima informasi lalu cepat mengambil keputusan dan ternyata informasi tersebut tidak benar. Seharusnya adalah memastikan informasi dan tidak tergesa-gesa menyikapinya sehingga jelas permasalahan yang sesungguhnya terjadi.
- Hukum lain yang dapat disimpulkan dari peperangan ini adalah dibolehkannya melakukan serangan mendadak kepada kaum yang pernah menerima dakwah tanpa harus pemberitahuan terlebih dahulu. Sedangkan mereka yang belum pernah menerima dakwah, maka wajib mendakwahi mereka terlebih dahulu sebelum memeranginya.
- Berbuat adil sesama istri.
Di antara bentuk adil adalah dengan melakukan undian di antara para istri ketika ingin melakukan perjalanan, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam peperangan ini, sehingga terpilihlah Aisyah.
Menurut pendapat yang benar adalah pengundian di antara para istrinya tersebut tidaklah wajib bagi beliau.
- Pernikahan Nabi ﷺ dengan Juwairiyah merupakan penghormatan bagi kabilahnya sebab kabilah tersebut merupakan kabilah yang paling terhormat di kalangan masyarakat Arab, tetapi mereka menjadi tawanan perang.
Ketika shahabat mengetahui bahwa Nabi ﷺ telah menikah dengan ]uwairiyah, mereka pun beramai-ramai memerdekakan wanita-wanita dan anak-anak yang telah ditawannya.
Hal ini adalah solusi cerdas dalam menyelesaikan problematika besar yang sebelumnya kabilah tersebut dihinakan lalu diangkat kembali derajatnya. Selain itu, solusi ini telah memberi dampak positif yaitu banyak di antara mereka yang masuk Islam.
- Kekalahan telak yang dialami oleh Bani Musthaliq memberikan pelajaran bagi kabilah lain yang ingin mencoba menyerbu kaum muslimin setelah perang Uhud. Karena umat Islam mampu melindungi dirinya dan menghalau orang yang ingin menyerbunya dengan kekuatannya.
- Ketika seorang Anshar dan Muhajirin bertikai di tempat sumber air, lalu masing-masing berteriak, “Wahai orang-orang Anshar.” dan “Wahai orang-orang Muhajirin.” Sehingga hampir menimbulkan peperangan di antara mereka, Rasulullah berkata, ”Tinggalkan teriakan itu! Sesungguhnya itu sangat busuk!”
Pada konteks kekinian pada zaman ini dapat juga kita mengatakan bahwa tinggalkan segala bentuk fanatisme kesukuan dan kepartaian. Tidak boleh ada lagi ajakan fanatik, karena itu adalah seruan jahiliyah dan Allah telah menjadikan mukmin itu bersaudara dan dalam satu naungan. Seharusnya seruan yang baik adalah “Wahai umat Islam…” bukan seruan-seruan dan ajakan-ajakan lainnya.
- Kearifan Rasululla ﷺ dalam menyikapi orang yang munkar yakni seorang munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Sekalipun terdapat bukti-bukti yang kuat akan ucapannya, beliau tidak setuju dengan keinginan Umar untuk membunuhnya.
Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa kemunkaran tidak dapat dihilangkan dengan kemunkaran yang serupa atau lebih besar. Namun, ketika tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan, maka dapat dihilangkan berdasarkan kesanggupan dengan tetap menjaga kemaslahatan yang lebih besar.
- Sikap Abdullah bin Ubay bin Salul yang menyakiti Rasulullah ﷺ dan mengklaim sebagai pemimpin kaum munafikin di Madinah, maka umat Islam banyak disusahkan dan dilelahkan olehnya.
Kita ingat ucapan Aisyah tentang orang ini,’ Ketika perang Bu’ats berkecamuk (perang antara Khazraj dan Aus yang menimbulkan banyak korban) maka Allah menghadirkan Rasulullah ﷺ.
Padahal para tokoh mereka telah bercerai berai, pemimpin mereka banyak yang terbunuh dan terluka, maka Allah menghadirkan Rasulullah ﷺ di tengah-tengah mereka dan banyak dari kaum tersebut yang masuk Islam.
Allah telah menyiapkan lahan yang baik untuk dakwah ini dengan terbunuhnya orang-orang yang sombong dan angkuh untuk masuk Islam.
Ibnu Hajar berkata, “Telah terbunuh dalam peristiwa tersebut tokoh-tokoh yang sombong yang tidak mau beriman. Yaitu sombong dan menolak masuk Islam, agar kekuasaannya tidak beralih kepada orang lain. Di antara para tokoh yang tersisa adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.”
- Hikmah dari sikap Rasulullah yang tidak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul dan sabdanya, ”Nanti orang-orang akan berkata bahwa Muhammad membunuh temannya sendiri.” Adalah disyariatkannya membela kehormatan diri.
Seorang muslim tidak pantas menceburkan diri untuk ikut-ikutan menebarkan isu sekalipun benar. Bahkan seharusnya ia menjauhkan situasi-situasi seperti itu yang bakal menjadi pembicaraan manusia.
- Hikmah di balik sikap Rasulullah yang menyerukan pasukannya untuk terus melakukan perjalanan sampai mereka lelah dan tertidur pulas, yaitu agar mereka tidak menganggapi isu yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay.
- Permohonan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul untuk untuk membunuh ayahnya sendiri apabila Nabi ﷺ menginginkannya.
As Suhaili berkata, ”Pada peristiwa ini terdapat suatu pengetahuan yang sangat agung serta bukti yang jelas dari tanda-tanda kenabian. Sesungguhnya bangsa Arab adalah makhluk Allah yang sangat fanatik dan sensitif.
Namun, ketika iman dan cahaya keyakinan menembus hati mereka, ada di antara mereka yang siap untuk membunuh ayahnya sendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah ﷺ, sekalipun ia tidak memiliki kekerabatan dengan beliau.”
- Sikap Shofwan yang ketika melihat Aisyah, ia mengucapkan kalimat istirja’ (innaalillahi…) . Ia tidak menegur istri Nabi ﷺ tersebut serta tidak berbicara sepatah kata pun padanya. Ibnu Hajar mengomentari hal ini dan mengatakan, “Ini menunjukkan tentang kecerdasan Sofwan serta adab yang sangat bagus.”
- Pada peristiwa isu tersebut menjelaskan dengan detail tentang sisi kemanusiaan Rasulullah ﷺ. Beliau sempat terpengaruh oleh isu tersebut sekalipun beliau sangat mencintai istrinya dan mertuanya.
Namun, beliau tidak kuasa untuk mengetahui perkara gaib atau meminta agar wahyu diturunkan yang sempat terhenti selama sebulan, agar beliau juga mengalami ujian. Ini semua menunjukkan sisi kemanusiaan beliau dan wahyu itu benar-benar dari Allah yang mengetahui perkara gaib.
Allah berfirman tentang kepribadian Rasulullah ﷺ :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. [Al-Kahfi: 110).
Rasulullah ﷺ juga manusia biasa, tetapi memiliki kelebihan dibanding lainnya yaitu beliau mendapatkan wahyu dari Allah Ta’ala.
- Peristiwa isu tersebut menjelaskan tentang keutamaan ‘Aisyah, Ummul Mukminin, yaitu telah turun ayat Al-Qur’an yang terus dibaca hingga hari kiamat yang menjelaskan tentang kesuciannya dari tuduhan orang.
- Pada peristiwa isu tersebut terdapat penjelasan tentang kedudukan wanita dan perannya dalam Islam, yaitu telah diturunkan beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang dibaca sepanjang masa tentang pembelaannya terhadap seorang wanita.
- Pada peristiwa hadits al-ifki terdapat penjelasan tentang pentingnya menjaga kehormatan dan harga diri, serta tidak boleh meremehkannya. Sebab, ayat-ayat yang diturunkan tentang pembebasan Aisyah dari tuduhan palsu adalah tentang membela dan menjaga kehormatan serta harga diri.
- Pada peristiwa tersebut juga terdapat celaan terhadap sikap ambisius terhadap dunia. Ibnu Hajar berkata,”Pada peristiwa tersebut terdapat celaan terhadap sikap ambisius terhadap materi. Seandainya Aisyah lekas kembali kepada pasukan dan tidak mencari kembali kalungnya yang terjatuh, niscaya isu tersebut tidak akan terladi.”
- Pada peristiwa hadits al-ifki terdapat pelajaran tentang bagaimana menyikapi sebuah isu. Allah berfirman,
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَٰئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. [An-Nur: 12-13]
Ibnu Katsir berkata, ”Ayat ini turun terkait dengan sikap Abu Ayyub Al-Anshari dan istrinya, yaitu istrinya berkata padanya,”Wahai Abu Ayyub, tidakkah kamu mendengar apa yang dituduhkan orang-orang kepada Aisyah?”
Abu Ayyub berkata, “Ya, dan itu adalah bohong. Apakah kamu juga ikut menyebarkan berita itu wahai Ummu Ayyub?” ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan pemah melakukan!” Kemudian Abu Ayyub berkata, “Demi Allah, Aisyah jauh lebih baik dari kamu.”
Oleh karena itu, seorang muslim harus berprasangka baik kepada saudaranya, tidak mudah menerima suatu berita dan isu, kecuali dengan mendatangkan saksi yang cukup. Jika tidak, maka ia termasuk pendusta di sisi Allah.
- Peristiwa haditsul Ifki tersebut menjelaskan tentang besarnya sanksi bagi orang-orang yang suka menebarkan isu di kalangan orang-orang yang beriman, terutama bagi aktor intelektualnya.
Hukuman & Sanksi Bagi Bani Musthaliq
Tidak ada hukuman dan sanksi khusus yang dijatuhkan oleh Rasulullah ﷺ kepada Bani Musthaliq.
Apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ kepada Bani Musthaliq tidak ada bedanya dengan perlakuan Nabi ﷺ kepada musuh-musuhnya yang telah berhasil dikalahkannya, yaitu para wanita dan anak-anaknya dan hartanya menjadi ghanimah perang dan dibagi-bagi. [vii]
Tanya Jawab:
Berikut ini sejumlah pertanyaan yang sering dicari jawabnya oleh sebagian kalangan, yaitu:
– Apakah sebab penamaan perang Bani Musthaliq?
Perang ini dinamakan dengan perang Bani Musthaliq karena musuh yang dihadapi oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya adalah kabilah Bani Musthaliq, salah satu kabilah terkemuka yang pernah didakwahi untuk masuk ke dalam Islam.
– Perang Bani Musthaliq disebut juga perang?
Perang Bani Musthaliq dikenal juga dengan nama lain yaitu Perang (Ghazwah) Al-Muraisi’. Al-Muraisi’ adalah nama sebuah sumber air di daerah Qudaid.
Di lokasi inilah orang-orang Bani Musthaliq sedang memberi minum kawanan ternak mereka lalu mereka dikepung oleh Nabi Muhammad ﷺ dan pasukan kaum Muslimin. Dari sinilah Perang Bani Musthaliq disebut juga dengan Perang Al-Muraisi’
– Berapa lama perang Bani Musthaliq berlangsung?
Perang Bani Musthaliq berlangsung dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya satu hari saja karena berdasarkan satu riwayat yang shahih mereka tidak mampu melakukan perlawanan. Dalam riwayat yang lain disebutkan ada perlawanan namun sedikit saja. [viii]
– Siapa pemimpin Bani Musthaliq?
Pemimpin kabilah Bani Musthaliq bernama Al-Harits bin Abi Dhirar. Dia adalah ayah dari Juwairiyah, istri Rasulullah ﷺ. Juwairiyah binti al-Harits termasuk dalam kelompok wanita yang ditawan kaum Muslimin. Dia dimerdekakan oleh Nabi ﷺ , masuk Islam dan dijadikan istrinya.[ix]
Demikian pembahasan tentang pelajaran dari perang Bani Musthaliq atau Al-Muraisi’. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu rahmat dari Allah semata.
Dan bila ada kesalahan atau kekeliruan di dalamnya maka itu dari kami dan dari setan. Allah dan rasul-Nya berlepas diri darinya. Semoga Allah Ta’ala berkenan mengampuni semua kesalahan kami dan kaum Muslimin.
[i] Seleksi Sirah Nabawiyah, Studi Kritis Muhaditsin terhadap Riwayat Dha’if, Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umuri, Pustaka Darul Falah, hal. 440.
[ii] Shahih as-Sirah An-nabawiyah, Syaikh Ibrahim Al-Ali, Darun Nafais, Yordania, cetakan pertama, 1415 H / 1995 M. Hal. 245-246.
[iii] Ibid, hal. 247-248.
[iv] Fikih Sirah, Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah ﷺ , Darus Sunnah, Hal.414-415.
[v] Seleksi Sirah Nabawiyah, Studi Kritis Muhaditsin terhadap Riwayat Dha’if, Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umuri, Pustaka Darul Falah, hal. 442-443.
[vi] Fikih Sirah, Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah ﷺ , Darus Sunnah, Hal.424-435. Secara ringkas.
[vii] Lihat: Shahih as-Sirah An-nabawiyah, Syaikh Ibrahim Al-Ali, Darun Nafais, Yordania, cetakan pertama, 1415 H / 1995 M. Hal. 250.
[viii] Lihat : Shahih as-Sirah An-nabawiyah, Syaikh Ibrahim Al-Ali, Darun Nafais, Yordania, cetakan pertama, 1415 H / 1995 M. Hal. 249-250.
[ix] Ibid, hal. 249.
Incoming search terms:
- hikmah perang bani musthaliq (1)
- https://pusatjamdigital com/ghazwah-sariyah/bani-musthaliq/ (1)